Latest News

Kamis, 17 Maret 2016

FATAHILLAH VS SUNAN GUNUNG JATI



FATAHILLAH VS SUNAN GUNUNG JATI
Sama atau beda ya…. ?
Dalam beberapa buku sejarah, ada yang menyebutkan bahwa kedua tokoh di atas adalah orang yang sama. Namun, apakah hal tersebut benar ? Mari kita telusuri…
Pertama, Fatahillah, kita mengenal Fatahillah sebagai tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama tempat tersebut “Jayakarta” yang artinya Kota Kemenangan. Sekarang kota tersebut kita kenal sebagai Jakarta, Ibu Kota NKRI. Ia juga dikenal dengan nama Falatehan. Kedua, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang sering dianggat sama dengan Fatahillah kemungkinan besar adalah mertua dari Fathillah. Loh, dari mana kesimpulan tersebut didapatkan ? Yuk simak penjelasan di bawah ini…. . Oh ya, sebelumnya, ini adalah sejarah tentang masa lampau, di mana kita mencari kebenaran melalui bukti-bukti atau penggalan-penggalan kisah yang tersisa yang kemudian kita rangkai sehingga menjadi sejarah yang padu. Apalagi zaman kedua tokoh ini sudah sangat jauh dari masa kita. Sehingga, kita tidak bisa menanyakan secara langsung kebenaran hal yang akan kita telusuri kepada sumber aslinya.
Check it out !
FATAHILLAH
Museum Fatahillah
Ada beberapa pendapat mengenai Fatahillah. Salah satu pendapat mengatakan ia berasal dari Pasai, Aceh Utara. Kemudian ia meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai oleh Portugis. Fatahillah pergi ke Mekkah, kemudian ke tanah Jawa, Demak, pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri Kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Ada juga yang mengatakan bahwa Fatahillah lahir di Asia Tengah (mungkin Smaraqand), kemudian menimba ilmu di Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan turki sebelum bergabung dengan Kesultanan Demak. Namun, tidak jelas dari mana keempat pendapat ini berasal.
Menurut penelusuran sejarawan Indonesia bernama Edi Suhardi Ekadjati (1989), nama Fatahillah sama sekali tidak didapatkan dalam babad atau sumber tradisi. Nama Fatahillah justru terdapat dalam jenis sumber modern, seperti buku Geschiedenis van Java (Sejarah Jawa) karya Fruin Mees (1920). Orang pertama yang menyatakan Fatahillah sebagai tokoh sejarah adalah B. Schrieke. Dia mengaitkan tokoh Fatahillah ini dengan sejarah kota Jakarta pada masa awal Islamisasi. Dasar penafsiran Schrieke adalah catatan orang Portugis (1546) tentang Raja Sunda yang bernama Tagaril. Menurutnya, Tagaril merupakan salah tulis dari kata Fagaril. Kata Fagaril sendiri merupakan perubahan dari kata aslinya, yaitu Fatahillah (kemenangan Allah).
Pendapat Schrieke ini dibantah oleh Hoessein Djajadiningrat, Guru besar sejarah ini menjelaskan bila kata Faletehan atau Falatehan itu mungkin salah dengar atau salah tulis dari kata Fathan, lengkapnya fathan mubinan (kemenangan yang sempurna). Tokoh ini berperan dalam merebut Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Sunda. Sebagai kesimpulan akhir, menurut Djajadiningrat, nama-nama Faletehan, Fatahillah, Tagaril, dan juga Makdum, Syarif Hidayat(ullah), serta Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang identik. “Namanya memang bermacam-macam, tetapi orangnya hanya satu,” jelas Prof Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, 1983).
Namun kemudian banyak sejarawan, arkeolog, dan filolog menentang teori Djajadiningrat tersebut. Antara lain Ekadjati yang dalam salah satu tulisannya mengatakan Makdum berbeda dengan Sunan Gunung Jati. “Makdum berasal dari Pasai, sedangkan Sunan Gunung Jati berasal dari Arab. Hanya kedudukan dan peranan keduanya sama, yakni sebagai penyebar Islam,” tulisnya (1989, hal. 4). Ada pula yang beranggapan bila Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, kemungkinan besar adalah mertua dari Fatahillah.
Pada 1972, ditemukan sebuah naskah kuno di Indramayu, sehingga pandangan tentang tokoh Fatahillah mulai berubah. Kitab kuno itu bernama Carita Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis pada 1720, oleh Pangeran Arya Carebon. Namun yang menjadi masalah, masa penulisan kitab itu adalah 200 tahun setelah masa hidup Fatahillah. Kitab itu pun masih diragukan keasliannya oleh banyak pihak karena banyaknya kekeliruan penulisan.
Dari sumber Sajarah Banten menyebutkan tokoh Fatahillah sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan berbagai buku karangan H.J. de Graaf).
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama Fadhillah Khan, diidentifikasi sebagai Fatahillah. Dia lahir pada 1490. Sementara tokoh Sunan Gunung Jati, nama lain dari Syarif Hidayat, lahir pada 1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470. Dengan demikian Fatahillah dan Sunan Gunung Jati merupakan dua tokoh yang berbeda.
Mengenai kiprahnya di tanah air, yang membuatnya menjadi dikenal, Fatahillah ternyata adalah orang yang diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa. Fatahillah sendiri adalah seorang ulama dari Pasai, Aceh yang hijrah ke Demak. Ia biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah.
Ia merupakan tokoh yang dikenal karena mengusir orang-orang dari Bangsa Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa. Oleh karena perjuangannya itu, ia banyak diabadikan oleh orang-orang di Jakarta, Banten, dan Cirebon. Walaupun ada beberapa pakar sejarah yang menganggapnya sebagi tokoh mitos atau legenda. Namun, ada juga sebagian pakar sejarah yang megklaim Fatahillah sebagai tokoh sejarah. Sampai saat ini, Fatahillah masih dianggap sebagai tokoh pendiri kota Jakarta.

SUNAN GUNUNG JATI
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah.

Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Campa (pinggir delta Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar. Salah satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama). Hal tersebut menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati bukanlah Fatahillah.

HUBUNGAN FATAHILLAH DENGAN SUNAN GUNUNG JATI
Dalam buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga bahwa setelah wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.
Dalam wawancara dengan majalah Gatra di akhir dekade 90, alm. Sultan Sepuh Cirebon juga mengkonfirmasi perbedaan 2 tokoh besar ini dengan menunjukkan bukti 2 makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi menantunya dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati.Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun setelahnya.
Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya Zainal Alam Barakat adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat,India.
Pandangan sejarawan  yang mengatakan bila Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan. Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an, khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati.
Pandangan lain juga pernah mengemuka pada 1968, sebelum ditemukannya kitab Carita Purwaka Caruban Nagari. Adalah seorang filolog, Prof. Slamet Muljana, yang membahasnya dalam sebuah buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (diterbitkan ulang LKiS, 2005). Dia menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang muslim China yang sebelumnya bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang (Cirebon).
Menurut Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan Trenggana, Tung Ka Lo. “Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak,” kata Muljana
Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah menjadi sultan. Yang pasti pada 1552 dia meninggalkan Banten dan menetap di Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570 Fatahillah wafat dan dimakamkan di Sembung, Bukit Gunung Jati,” demikian pendapat Muljana.
Banyak pakar sampai kini masih menyangsikan tokoh Fatahillah, Faletehan, dan Syarif Hidayat. Benarkah dia seorang tokoh sejarah sekaligus pendiri kota Jakarta dan mengacu pada satu nama yang sama, benarkah dia hanya seorang tokoh fiktif, benarkah dia seorang muslim China, dan berbagai pertanyaan lain masih sulit dijawab kebenarannya. Identifikasi tokoh Fatahillah memang merupakan perdebatan akademis yang belum mencapai titik temu sampai kini. Hal ini tentunya  menjadi rumit karena sumber-sumber yang tersedia masih terbatas. Namun sudah terlanjur, tokoh Fatahillah dipandang sebagai sosok pahlawan sekaligus pendiri kota Jakarta.
Hubungan antara Fatahillah dan Sunan Gunung Jati pun dapat dilihat melalui cerita berikut….
Syarif hidayatullah dan ibunya, syarifah Muda’im, datang ke negeri caruban Larang, jawa barat, pada tahun 1475 m. Setelah mereka singgah dulu di gujarat dan pasai untuk menambah pengalaman. Ketika mereka sampai di negeri caruban larang, keduanya disambut gembira oleh pangeran cakrabuana dan keluarganya. Ketika ibu dan anak itu tiba di caruban larang, syekh kahfi sudah wafat dan dimakamkan di pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, syarif muda’im minta diizinkan tinggal di pasambangan atau guungjati, cirebon.
Syarifah muda’im dan putranya, syarif hidayatullah, menrsuhkan usaha syekh kahfi dengan membuka pesantren gunung jati. Maka, nama syarif hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan sunan gunung jati. Tibalah saat yang ditentukan, yaitu pangeran cakrabuana menikahkan anaknya, Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Pada tahun 1479 m. Pangeran cakrabuana karena usianya sudah lanjut, menyerahkan kekuasaan negeri caruban larang kepada syarif hidayatullah dengan gelar susuhunan yang berarti orang yang dijunjung tinggi.
Pada tahu pertama pemerintahannya, syarif hidayatullah berkunjung ke pajajaran untuk mengunjungi kakeknya, yaitu prabu siliwangi. Sang prabu diajak masuk islam, tetapi tidak mau. Meskipun prabu siliwangi tidak mau masuk islam, ia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama islam di wilayah pajajaran. Kemudian syarif hidayatullah melanjutan perjalanan ke serang, banten.
Penduduk serang sudah ada yang masuk islam karena banyak saudagar arab dan gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Meskipun demikian, kedataga syarif hidayatullah disambil baik oleh adipati Banten. Bahkan syarif hidayatullah dijodohkan degan putri adipati banten yang bernama nyi kawungten. Dari perkawinan ini, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Nyi rabu winaon dan pangeran sebakingking.
Dalam menyebarkan gama islam di tanah jawa, syarif hidayatullah atau sunan gunung jati tidak bekerja sendirian. Ia sering bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di masjid demak. Bahkan, ia juga ikut membantu pendirian masjid demak. Dari pergaulannya dengan sultan demak dan para walinya, syarif hidayatullah akhirnya  memimpin caruban larang dan mendirikan kesultanan pakungwati. Dan, ia memproklamirkan diri sebagai raja dengan gelar sultan.
Dengan berdirinya kesultanan tersebut, cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada pajajaran yang biasanya disalurkan lewat kadipaten galuh. Namun, tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh raja pajajaran. Ia tidak peduli terhadap orang yang berdiri di balik kesultanan cirebon. Maka, ia mengirimkan pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap syarif hidayatullah yang dianggap telah lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan pajajaran.
Tapi, usaha ini tidak berhasil, ki jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke pajajaran. Mereka masuk islam dan menjadi pengikut syarif hidayatullah. Maka pengaruh kesultanan pakungwati semakin bertambah besar karena prajurit dan perwirapilihan pajajaran bergabung ke cirebon. Berbagai daerah lain, seperti surantaka, japura, wana giri dan telaga, juga menyatakan diri menjadi wilayah kesultanan pakungwati di cirebon.
Setelah pelabuhan muara jati diperluas, maka semakin bertambah besar pengaruh kesultanan pakungwati. Banyak pedagang besar negeri asing yang datang menjalin pershabatan, di antaranya negeri tiongkok. Bahkan salah seorang keluarga istana cirebon menikah dengan pembesar negeri cina yang berkunjung ke cirebon, yaitu Ma Huan. Maka, jalinan antara cirebon dan negri cina semakin erat.
Sunan gunung jati juga pernah diundang ke negeri cina dan menikah dengan putri kaisar cina yang bernama putri Ong tien. Pada saat itu, kaisar cina yang berasal dari dinasti ming jua bragama islam. Dengan perkawinan itu sang kaisar ingin menjadi hubungan baik antara cirebon dan negeri cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa cina dalam dunia perdagangan.
Setelah menikah dengan sunan gunung jati, maka putri ong tien diganti namannya menjadi nyi ratu rara semanding. Tak salah, jika istana dan masjid cirebon dihiasai dan diperluas dengan berbagai motif hiasan dinding dari negeri cina. Pembangunan masjid itu  melibatkan banyak pihak, antara lain para wali sanga dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh raden patah, penguasa demak. Dalam pembangunan itu, sunan kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan soko tatal sebagai lambat persatuan umat.
Setelah sunan gunung jati selesai membangun masjid, ia memerintahkan membangun jalan raya yang menghubungkan cirebon dengan berbagai daerah kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan islam di seluruh tanah pasundan. Prabu siliwangi hanya bisa menahan diri terhadap kembangan wilayah cirebon yang semakin luas itu. Bahkan, wilayah pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511m, malaka diduduki oleh bangsa portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa menjadi sasaran mereka untuk  menancapkan kuku penjajahan. Demak bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Karena itu, raden patah mengirim adipati unus atau pangeran sebrang lor untuk menyerang portugis di malaka. Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil karena persenjataan portugis terlalu lengkap. Dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di malaka.
Ketika adipati unus kembali ke jawa, seorang pejuang dari pasai (malaka) bernama fatahillah ikut berlayar ke pulau jawa. Sebab, pasai sudah tidak aman bagi mubaligh seperti fatahillah. Karena itu, ia ingin menyebarkan agama islam di tanah jawa. Raden patah wafat pada tahun 1518 M, lalu kedudukannya digantikan oleh adipati unus atau pangeran sebrang lor. Ketika ia baru saja dinobatkan, ternyata muncul berbagai pembrontakan dari daerah pedalaman. Saat memadamkan pembrontakan itu, pangeran sabrang lor meninggal dunia dan gugur sebagai pejuang syuhada.
Pada tahun 1521 M, sultan demak dipegang oleh raden trenggana, putra raden patah yang ketiga. Di dalam pemerintahannya, fatahillah diangkat sebagai panglima perang yang akan ditugaskan mengusir portugis di sunda kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan portugis di malaka narus mengangkat senjata lagi sekarang. Dari demak, awalnya pasukan yang dipimpinnya menuju cirebon. Kemudian, pasukan gabungan demak dan cirebon itu menuju sunda kelapa yang sudah dijarah portugis dengan bantuan pajajaran.
Mengapa pajajaran membantu Portugis? Sebab, pajajaran merasa iri dengan dendam terhadap perkembangan wilayah cirebon yang semakin luas. Ketika portugis bersedia membantu merebut wilayah pajajaran yang dikuasai cirebon, maka raja pajaran menyetujuinya. Lalu mengapa pasukan gabungan demak dan cirebon tidak dipimpin oleh sunan gunung jati? Sebab, sunan gunung jati tahu bahwa ia harus berperang melawan kakeknya sendiri. Maka, ia memerintahkan fatahillah untuk memimpin serbuan itu.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalaman bertempur di malaka, fatahillah tahu titik lemah tentara dan siasat portugis. Dan setiap serangan pasukan demak-cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya portugis dan pajajaran kalah. Lalu portugis kembali ke malaka. Sementara itu, pasukan pajajaran tercerai berai tidak menentu. Selanjutnya, fatahillah ditugaskan mengamankan baten dari gangguan para pembrontak yaitu sisa sisa pasukan pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena fatahillah dibantu putra sunsn gunung jati yang bernama pangeran sebakingking.
Di kemudian hari, pangeran sebakingking menjadi penguasan Banten dengan gelar pangeran Hasanuddin. Kemudian, fatahillah diangkat menjadi rasa oleh segenap adipati di sunda kelapa. Dan, ia mengubah nama sunda kelapa menjadj jayakarta.  Sebab sunan gunung jati selaku sultan cirebon telah memerintahkannya untuk meluaskan daerah cirebon agar islam lebih merata di jawa barat.
Fatahillah berturut-turut dapat menaklukkan daerah telaga, sebuah negara kecil yang dikuasai oleh raja Budha bernama prabu pacukuman. Kemudian, kerajaan galuh hendak meneruskan kebesaran pajajaran lama. Raja galuh ini bernama prabu cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal, yaitu aria kiban. Tapi, galuh tidak dapat membendung kekuatan cirebon. Akhirnya, raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih fatahillah. Akhirnya, sunan gunung jati memanggil ulama dari pasai itu ke cirebon. Sunan gunung jati menjodohkan fatahillah dengan ratu wulung ayu. Sementara itu, kedudukan fatahillah selaku adipati jayakarta diserahkan kepada ki bagus angke. Ketika usia sunan gunungjati sudah semakin tua, maka ia mengangkat putranya, yaitu pangeran muhammad arifin, sebagai sultan cirebon dengan gelar pasara pasarean. Dan fatahillah yang sering disebut tugabgus atau kiai bagus pasai diangkat menjadi penasehat sang sultan.
Sunan gunung jati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah islam di gunung jati atau pesantren pasambangan. Namun, lima tahun sejak pengangkatannya, pangeran muhammad arifin mendadak meninggal dunia mendahului ayahnya. Kemudian, kedudukan sultan diberikan kepada pangeran sebakingking yang bergelar sultan maulana hasanuddin dengan pemerintahan di banten. Sementara itu, sultan cirebon hanya bergelar adipati cabon I walaupun cirebon masih tetap digunakan sebagai kesultanan. Dan, adipati carbon I ini adalah menantu fatahillah yang diangkat sebagai sultan cirebon oleh sunan gunung jati.
Dari data-data diatas, ada yang mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati berbeda. Namun, ada juga yang mengatakn bahwa mereka sama. Namun, kebanyakan sumber dan pendapat memilih untuk menyimpulkan bahwa mereka berdua adalah orang yang berbeda. 

Sumber : 




 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post