Latest News

Senin, 01 Februari 2016

STORY


When Little Makes Better
Ketika mendengar kata bahagia, seluruh tubuhku tiba-tiba menegang. Entah kenapa, sistem-sistem indra pun serentak menajam mencari sesuatu yang pernah mereka proses sebelumnya. Sedikit pening terasa di dalam tempurung kepalaku. Tepatnya di dalam otak yang kini denyutnya dapat membuat keningku mengernyit. Pertanda bahwa di dalam sana, benda misterius itu sedang bekerja. Berusaha membuat jembatan-jembatan neuron baru untuk mengumpulkan informasi-informasi yang sempat terlupakan. Sedangkan di dalam dada dan perutku bergejolak perasaan yang memang tak pernah kasat oleh mata. Di dalam benakku, mulailah terputar gambar-gambar usang yang berkecamuk buram menampilkan potongan-potongan masa laluku.
Lalu aku berpikir, bingung tepatnya. Apa arti kata bahagia ? Pertanyaan itu tiba-tiba memantul-mantul di dalam rongga kepalaku. Memaksa otak yang sedang sibuk bekerja untuk menjawabnya. Apa makna bahagia yang sebenarnya ? Apakah hanya sebatas perasaan senang ? Dan itu dapat dikatakan sebagai kebahagiaan ? Apa bahagia membuat perasaan kita benar-benar tentram ? Apa bahagia adalah ketika kita selalu ingin tersenyum walau pada kenyataannya dunia sedang termenung ? Apa bahagia terjadi ketika kita merasa bahwa kitalah orang yang paling beruntung di dunia ?
Tiba-tiba aku terhenyak. Bertanya pada diri sendiri. Jika aku tak mengerti arti kata bahagia, apakah aku pernah benar-benar bahagia ? Atau sekadar menyebut sesuatu sebagai kebahagiaan ?
Namun, tiba-tiba tertangkap sebuah sosok yang samar-samar selalu muncul di potongan-potongan gambar usang di dalam benakku. Selalu tersenyum, dan membuat perasaanku semakin tentram. Namun, kadang kulihat wajahnya bersedih, menerawang jauh memikirkan sesuatu yang tak pernah kuketahui. Ah, ia memang seseorang yang mulia. Pintar memilih sikap dan perkataan. Selalu berusaha menciptakan kebahagiaan di tengah kesedihan.
Akhirnya, aku berhasil menemukan saat-saat aku merasa bahagia. Bahkan benar-benar bahagia. Walaupun aku belum mengetahui sepenuhnya mengenai arti kata bahagia.
Pernah, beberapa tahun yang lalu, saat kurasa bahwa duniaku benar-benar runtuh, disaat semua orang bagaikan setan, bahkan iblis yang sengaja diturunkan untuk menghancurkan hidupku. Ketika duinia dan Tuhan seakan tak berpihak lagi padaku. Tak ada lagi yang bia dipercaya. Semua orang saat itu hanyalah orang-orang munafik dengan topeng tebal yang sengaja dipoles agar terlihat indah. Ketika itu, bahkan keramaian justru membuatku semakin merasa kesepian. Bagaikan dibuang ke dalam lubang hampa tak berujung diiringi dengan gema tawa ejekan di sekelilingku. Rasanya, semua orang pergi dan menjauh, memisahkanku di dalam sebuah dimensi tak kasat mata dengan batas yang juga tak kasat mata.
Ketika memasuki rumah, ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya dan membuang seluruh memoriku tentang hari itu. Menjerit dan menyalahkan semua orang. Alhasil, aku pun melampiaskan seluruh kekesalanku dengan bertemperamen buruk sepanjang hari. Tetapi, tetap tak ada yang peduli bahkan sekedar menyadari.
Namun, di pertengahan malam, entah saat aku berusaha untuk tidur, atau ketika aku memilih untuk sholat berjamaah -karena malas mengulang sholat jika nantinya salah rakaat- ia menyadari ada sesuatu yang salah denganku. Kemudian, ia mendekapku dan mengalirkan hawa hangat tak berperi. Tangannya yang lembut mengusap perlahan kepalaku yang berambut lepek karena kebanyakan menangis. Tak ada percakapan, ia hanya membiarkan aku melampiaskan emosiku. Tanpa kusadari, air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku berusaha menahannya sehingga tubuhku berguncang tak keruan. Setelah sesenggukan sekian lama, akhirnya ia memulai perakapan. Dengan suara lembutnya, memintaku menceritakan apa yang telah terjadi. Alhasil, ribuan kata yang sedari tadi tercekat di tenggorokanku tumpah ruah bak air bah yang membanjiri pedesaan. Lalu, dengan kata-kata ajaibnya-yang tak dapat kutuliskan disini, karena akan kehilangan originalitas- ia berhasil membuka hati dan pikiranku yang sedari tadi terkunci oleh amarah. Melenyapkan cengkraman iblis yang sedari tadi bercokol dan membuat sesak perasaanku. Dan perlahan, aku merasakan dunia disekitarku memulih. Mulai terlihat indah dan berwarna. Bahkan, alam bagaikan berpihak kepadaku. Apa yang awalnya menjadi masalah, kini terlihat sebagai kebahagiaan yang tertunda. Ia kemudian memelukku lagi, berkata bahwa hal tersebut dapat menenangkan hati dan pikiranku, karena dengan pelukan, seseorang akan merasa lebih tenang diakibatkan energi positif yang tersalur ke dalam tubuhnya. Malam itu, aku dapat tidur dengan lelap karena masalahku telah lenyap, hilang tertiup hawa kehangatannya.
Hari-hari selanjutnya, setiap aku bertemu dengan masalah, aku selalu berusaha untuk memecahkannya. Berkata kepada diriku sendiri, bahwa aku masih memiliki tempat untuk pulang. Masih memiliki rumah yang hangat dengan seseorang yang benar-benar peduli kepadaku. Masih ada seseorang yang dapat menghapus air mataku dan melenyapkan seluruh kegelisahanku dengan sihir ajaibnya. Bahkan, di pagi hari, sebelum aku berangkat ke sekolah, ia sering menyempatkan diri untuk memelukku dan memberiku semangat. Dan disaat itulah aku benar-benar merasa bahagia. Bahagia yang sederhana, yang dulunya dapat kujumpai setiap hari-namun belum kusadari. Oleh karena itu, aku tak pernah berpikir atau menginginkan untuk menjadi orang lain, karena dengan begitu aku tak akan menemukan kebahagiaan terbesarku.
Kawan, ternyata kebahagiaan terbesarku bukanlah ketika namaku tertulis dalam sebuah surat kabar sebagai peraih nilai UN tertinggi ke-3 di sebuah provinsi, karena di sisi lain sahabatku sedang menangis karena gagal masuk SMA favorit incarannya. Bahkan, rata-rata keseluruhan nilai UN di sekolahku tak mencapai angka 30. Dengan beberapa orang temanku, juga sahabatku, yang bersedih karena kunci jawaban yang digunakannya ternyata salah total. Sedih yang ada, bukannya bahagia. Bukan pula ketika aku berhasil menjuarai lomba fisika sebagai sebuah tim yang diadakan salah satu universitas negeri di kotaku, karena aku takut berbahagia di atas hal yang bukan usahaku semata. Bahkan, beberapa orang temanku yang awalnya juga sama-sama berjuang, namun berbeda kelompok denganku, kemarin sorenya bermurung durja karena nama timnya tak tertera pada daftar peserta yang lolos menuju babak final. Padahal, ia sama-sama telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk bertanding dalam lomba tersebut. Begitu pun ketika namaku tertera sebagai salah satu siswa yang lolos tes tertulis dan akan segera terdaftar menjadi siswa MAN Insan Cendekia Serpong, karena salah satu temanku yang justru membuat janji untuk kembali bersekolah bersama, tidak menemukan namanya dalam pengumuman tersebut. Bahkan, bukan hanya ia, melainkan ribuan siswa lainnya yang telah sama-sama berjuang, namun belum terpilih oleh takdir, sedang menangis dan mulai kebingungan mencari sekolah lain yang bukan pilihan utamanya. Bahkan dangan pengumuman tersebut, walaupun aku benar-benar bersyukur, aku tak dapat lagi bertemu dengan kebahagiaanku setiap harinya. Untuk sekedar bertemu kembali pun tak ada yang menjaminnya.
Untuk hal-hal yang kusebutkan di atas, bukannya aku tidak bahagia ketika mengalaminya. Tentu, aku sangat bahagia sekaligus bersyukur ketika hal-hal tersebut terjadi. Namun, kebahagiaan terbesarku adalah ketika aku berhasil menemukan setetes kebahagiaan di tengah lautan api kesedihan.
Destroyed
Mengenai pengalaman paling menyedihkan, aku tidak mengetahui secar pasti. Karena aku cenderung menyimpan kisah-kisah sedih tersebut di dalam brankas memori yang tertutup rapat dalam ingatanku. Cukup disimpan, tanpa harus mengeluarkannya sejenak untuk bernapas atau sekedar memunculkan dirinya kembali. Jadi, yang kuceritakan ini hanyalah kejadian menyedihkan yang masih sempat kuingat.

Sekitar Bulan Maret tahun 2015, aku dan sahabat-sahabatku yang berjumlah total 9 orang sedang sibuk-sibuknya menyiapkan diri untuk menghadapi UN. Seringkali kami berkumpul di suatu tempat, lalu berbicara santai tentang masa depan kami. Tentang SMA, kuliah, hingga cita-cita kami kedepannya. Kadang, kami membuat janji-janji kecil yang mengundang gelak tawa.

Sayang, kualitas pendidikan di daerah kami masih di bawah rata-rata. Sehingga, materi pemanatapan untuk UN pun masih sangat kurang. Les atau bimbel menjadi hal yang wajib dengan kondisi seperti itu. Namun, beberapa sahabatku enggan mengikuti les, bimbel, atau semacamnya. Mereka merasa cukup dengan kemampuan mereka dan apa yang telah diajarkan oleh sekolah.

Hari demi hari berlalu. Mirisnya, tingkat kepedulian siswa di sekolahku terhadap UN dan sejenisnya sangatlah kurang. Tak jarang, kedai pelajaran di sore hari hanya diisi oleh segelintir orang yang memang benar-benar berniat untuk belajar. Hingga kepala sekolahku harus  berkali-kali memberi ceramah di pagi hari hanya untuk sekedar mengingatkan betapa pentingnya kedai. Ditambah di sore hari, ia harus mengejar-ngejar siswa yang berniat untuk bolos. Sayangnya, sahabat-sahabatku mayoritas masuk ke dalam golongan orang-orang tesebut. Jika aku bertanya, mereka beralasan, percuma ikut kedai, yang dilayani hanya anak yang pintar dan aktif bertanya. Para guru tidak peka dengan ketidaktahuan siswa yang lain, apalagi image mereka memang memang cenderung buruk di mata para guru.

Namun, menjelang US, mereka tiba-tiba rajin belajar. Bahkan, hampir seiap malam, mereka datang ke rumahku untuk belajar hingga pukul 11.00. Di dalam belajar tersebut, tak lupa kami selipkan doa-doa agar sukses di ujian keesokan harinya. Kadang, kami merekam acara belajar kami sambil sesekali bercanda. Sehingga, tak jarang timbul gelak tawa yang kadang berujung pada perbincangan seru.

Semua saat itu mulai yakin dan mantap pada kemampuan masing-masing. Sehingga, kami mulai menentukan dimana kami akan sekolah nantinya. Kami pun berkomitmen untuk menghadapi UN dengan usaha kami sendiri. Pernah suatu siang di Hari Jumat, 3 orang dari sahabatku maju ke depan dan memberikan sedikit tausiyah tentang kejujuran di acara fiqih nisa mingguan.

Hingga...., tibalah suatu hari yang mengubah segalanya. Sore itu, sepulang kedai, beberapa orang di angkatan kami mengumumkan bahwa akan diadkan rapat angkatan di rumah salah satu siswa. Namun, ketiak ditanya membahas apa, mereka hanya berkata, “Datang aja ! Demi angkatan !”

Selidik punya selidik, ternyata rapat tersebut diadakan oleh alumni. Mereka datang dan memprovokasi teman seangkatanku agar membeli kunci jawaban (KJ) untuk UN. Kakak alumni tersebut juga menyampaikan sebuah konspirasi mengenai sistem pendidikan yang kacau dan bejatnya para orang yang bekerja di dinas pendidikan. Hingga pada kesimpulan, seberapa kerasnya kita belajar, tidak akan sukses melewati UN tanpa KJ.

Alhasil, beberapa orang terpengaruhi. Apalagi hari itu adalah H-3 UN. Kami dipaksa untuk memberi jawaban keesokan harinya mengenai pembelian KJ. Dengan syarat, yang membeli harus diatas 40 orang jika ingin harga per-orang Rp 200.000. Jika di bawah 4 orang, maka harga kunci jawaban akan naik menjadi Rp 500.0000. Sayang aku tidak menghadiri pertemuan tersebut sehingga tidak dapat melihat respon langsung dari teman-temanku. Namun, saat itu, aku percaya, sahabatku tidak akan terayu oleh bisikan iblis itu.

Shock, awalnya aku menganggap mereka bercanda. Ternyata, mayoritas sahabatku memilih untuk menggunakan KJ. Dengan dalih mereka sadar kekurangan mereka, betapa tidak siapnya mereka, ketakutan tidak diterima oleh SMA incaran, dan masih banyak lagi. Aku benar-benar merasa tertusuk ketika membaca chat di room chat yang khusus untuk geng kami. Ingin rasanya mencegah. Namun, aku sadar posisiku. Mereka pasti menganggap aku tidak peka karena aku tidak merasakan susahnya mereka berurusan dengan pelajaran . Bahkan, kadang temanku menangis ketika kami belajar bersama akibat frustasi dan kemudian merutuki dirinya karena tak kunjung paham setelah sekian lama belajar.

Yang lebih menyedihkan, ternyata mereka adalah motor dari perdagangan barang haram tersebut. Mereka yang mengkoordinir dan bertugas mengumpulkan-otomatis menghasut- teman-teman seangkatanku untuk ikut menggunakan KJ. Ironisnya, mereka sampai mendatangi rumah beberapa orang. Kemudian, memelas sekaligus memaksa dengan alasan demi solidaritas angkatan, kepedulian, kekeluargaan, dan tetek bengeknya yang pada kasus ini membuatku muak.

Dalam kondisi seperti itu, mereka tetap tidak merasa bersalah dan kami chat seperti biasa. Bahkan, mereka ikut menawariku dan sisa sahabatku yang tidak menggunakan KJ untuk ikut membeli walaupun nantinya kami tidak akan menggunakannya. Sekedar membantu, katanya.
Sungguh ! Sia-sia usahaku mengajar mereka tiap malam. Tak ada lagi artinya air mata mereka ketika mereka kesusahan disaat proses berpikir. Sampah, semua mimpi yang selalu kami perbincangkan jika pada akhirnya mereka bagaikan bibit-bibit koruptor yang kerjaannya menghancurkan bangsa, menzolimi orang banyak. Apalagi komitmen yang pernah kami buat. Mungkin hal tersebut telah hilang ditelan bumi tanpa mereka sadari mereka pernah melakukannya.

Aku sedih melihat mereka bangga dengan sesuatu yang mereka anggap kekuatan di tengah kebodohan yang sebenarnya. Di tengah kegagalan yang terpampang nyata. Sungguh omong kosong, menyalahkan pemerintah dengan sistemnya yang buruk jika pada akhirnya mereka terjebak pada cara yang haram. Artinya, mereka sukses menjadi korban sistem pendidikan yang sebenarnya perlu diperbaiki. Namun, dengan jalan pintas bisikan setan itu, bagaimana cara pemerintah mengetahui bahwa ada yang sakit pada sistemnya karena hasil UN yang keluar nantinya layaknya tak bermasalah pada proses pembelajaran sebelumnya ? Ingin rasanya menyadarkan mereka, bahwa mereka terjebak ! Saat itu, mereka justru menjadi bagian kerusakan sistem yang mereka gembar-gemborkan.

Namun, hal itu sudah berlalu. Telah hilang tanpa pernah disinggung lagi. Namun, yang paling menyedihkan sebenarnya adalah aku, yang tidak berani mencegah dan membiarkan sahabat-sahabatku merusak dirinya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post