FATAHILLAH VS
SUNAN GUNUNG JATI
Sama atau beda
ya…. ?
Dalam beberapa
buku sejarah, ada yang menyebutkan bahwa kedua tokoh di atas adalah orang yang
sama. Namun, apakah hal tersebut benar ? Mari kita telusuri…
Pertama,
Fatahillah, kita mengenal Fatahillah sebagai tokoh yang dikenal mengusir
Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa dan memberi nama tempat
tersebut “Jayakarta” yang artinya Kota Kemenangan. Sekarang kota tersebut kita
kenal sebagai Jakarta, Ibu Kota NKRI. Ia juga dikenal dengan nama Falatehan.
Kedua, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah yang sering dianggat sama
dengan Fatahillah kemungkinan besar adalah mertua dari Fathillah. Loh, dari
mana kesimpulan tersebut didapatkan ? Yuk simak penjelasan di bawah ini…. . Oh
ya, sebelumnya, ini adalah sejarah tentang masa lampau, di mana kita mencari
kebenaran melalui bukti-bukti atau penggalan-penggalan kisah yang tersisa yang
kemudian kita rangkai sehingga menjadi sejarah yang padu. Apalagi zaman kedua
tokoh ini sudah sangat jauh dari masa kita. Sehingga, kita tidak bisa
menanyakan secara langsung kebenaran hal yang akan kita telusuri kepada sumber
aslinya.
Check it out !
FATAHILLAH
Museum Fatahillah |
Ada beberapa
pendapat mengenai Fatahillah. Salah satu pendapat mengatakan ia berasal dari
Pasai, Aceh Utara. Kemudian ia meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut
dikuasai oleh Portugis. Fatahillah pergi ke Mekkah, kemudian ke tanah Jawa,
Demak, pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Namun, ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah
dengan putri Kerajaan Pajajaran. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa
Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan Sultan Syarif Abdullah
Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Ada juga yang
mengatakan bahwa Fatahillah lahir di Asia Tengah (mungkin Smaraqand), kemudian
menimba ilmu di Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan turki sebelum
bergabung dengan Kesultanan Demak. Namun, tidak jelas dari mana keempat
pendapat ini berasal.
Menurut penelusuran sejarawan Indonesia bernama Edi Suhardi Ekadjati (1989), nama Fatahillah sama sekali tidak didapatkan dalam babad atau
sumber tradisi. Nama Fatahillah justru terdapat dalam jenis sumber modern,
seperti buku Geschiedenis van Java (Sejarah Jawa) karya Fruin Mees
(1920). Orang pertama yang menyatakan Fatahillah sebagai tokoh sejarah
adalah B. Schrieke. Dia mengaitkan tokoh Fatahillah ini dengan sejarah kota
Jakarta pada masa awal Islamisasi. Dasar penafsiran Schrieke adalah catatan
orang Portugis (1546) tentang Raja Sunda yang bernama Tagaril. Menurutnya,
Tagaril merupakan salah tulis dari kata Fagaril. Kata Fagaril sendiri merupakan
perubahan dari kata aslinya, yaitu Fatahillah (kemenangan Allah).
Pendapat Schrieke ini dibantah oleh Hoessein Djajadiningrat, Guru besar sejarah ini menjelaskan bila kata Faletehan atau
Falatehan itu mungkin salah dengar atau salah tulis dari kata Fathan,
lengkapnya fathan mubinan (kemenangan yang sempurna). Tokoh ini berperan dalam
merebut Sunda Kalapa dari tangan Kerajaan Sunda. Sebagai kesimpulan akhir,
menurut Djajadiningrat, nama-nama Faletehan, Fatahillah, Tagaril, dan juga
Makdum, Syarif Hidayat(ullah), serta Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang
identik. “Namanya memang bermacam-macam, tetapi orangnya hanya satu,” jelas
Prof Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, 1983).
Namun kemudian banyak sejarawan, arkeolog, dan filolog menentang teori
Djajadiningrat tersebut. Antara lain Ekadjati yang dalam salah satu tulisannya
mengatakan Makdum berbeda dengan Sunan Gunung Jati. “Makdum berasal dari Pasai,
sedangkan Sunan Gunung Jati berasal dari Arab. Hanya kedudukan dan peranan keduanya sama, yakni
sebagai penyebar Islam,” tulisnya (1989, hal. 4). Ada pula yang
beranggapan bila Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, kemungkinan
besar adalah mertua dari Fatahillah.
Pada 1972, ditemukan sebuah naskah kuno di Indramayu, sehingga pandangan
tentang tokoh Fatahillah mulai berubah. Kitab kuno itu bernama Carita Purwaka
Caruban Nagari, yang ditulis pada 1720, oleh Pangeran Arya Carebon. Namun yang
menjadi masalah, masa penulisan kitab itu adalah 200 tahun setelah masa hidup
Fatahillah. Kitab itu pun masih diragukan keasliannya oleh banyak pihak karena
banyaknya kekeliruan penulisan.
Dari sumber Sajarah Banten menyebutkan tokoh Fatahillah sebagai seorang yang keramat. Dia datang dari tanah Arab. Ayahnya
berasal dari Yamani, sementara ibunya dari Bani Israil. Raja Cirebon saat itu
bernama Makdum, berasal dari Pasai (Sejarah Nasional Indonesia Jilid III dan
berbagai buku karangan H.J. de Graaf).
Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, tokoh dari Pasai itu bernama
Fadhillah Khan, diidentifikasi sebagai Fatahillah. Dia lahir pada 1490.
Sementara tokoh Sunan Gunung Jati, nama lain dari Syarif Hidayat, lahir pada
1448 di Mekah dan tiba di Cirebon sekitar 1470. Dengan demikian Fatahillah dan
Sunan Gunung Jati merupakan dua tokoh yang berbeda.
Mengenai
kiprahnya di tanah air, yang membuatnya menjadi dikenal, Fatahillah ternyata
adalah orang yang diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang
berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk
mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa. Fatahillah sendiri adalah seorang ulama
dari Pasai, Aceh yang hijrah ke Demak. Ia biasa disebut Faletehan atau Kyai
Fathullah.
Ia merupakan
tokoh yang dikenal karena mengusir orang-orang dari Bangsa Portugis dari
pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa. Oleh karena perjuangannya itu, ia banyak
diabadikan oleh orang-orang di Jakarta, Banten, dan Cirebon. Walaupun ada
beberapa pakar sejarah yang menganggapnya sebagi tokoh mitos atau legenda.
Namun, ada juga sebagian pakar sejarah yang megklaim Fatahillah sebagai tokoh
sejarah. Sampai saat ini, Fatahillah masih dianggap sebagai tokoh pendiri kota
Jakarta.
SUNAN GUNUNG
JATI
Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah
Muda'im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif
Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera,
Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan
Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal
Maulana Ishaq Syarif Abdillah.
Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.
Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari
para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan Gunung Jati
adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra
Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India
yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan
Campa (pinggir delta Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar. Salah
satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar)
adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).
Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan,
orang Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut
Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan
Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir
bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama). Hal tersebut
menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati bukanlah Fatahillah.
HUBUNGAN FATAHILLAH DENGAN SUNAN GUNUNG JATI
Dalam buku Jejak
Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas, disebutkan juga bahwa setelah
wafatnya Sultan Trenggana, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah
menikah dengan Fatahillah. Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu
dari Syarif Hidayatullah.
Dalam wawancara dengan majalah Gatra di akhir dekade 90, alm. Sultan Sepuh
Cirebon juga mengkonfirmasi perbedaan 2 tokoh besar ini dengan menunjukkan
bukti 2 makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati
sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi
menantunya dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung
Jati.Sunan Gunung Jati wafat tahun 1568, sedangkan Fatahillah wafat 2 tahun
setelahnya.
Menurut Saleh Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis
sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih berkerabat
dengan Walisongo karena kakek buyutnya Zainal Alam Barakat adalah adik dari
Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar
(ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari
Gujarat,India.
Pandangan sejarawan yang mengatakan bila Fatahillah identik dengan
Sunan Gunung Jati mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan.
Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an,
khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh
Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati.
Pandangan lain juga pernah mengemuka pada 1968, sebelum ditemukannya kitab
Carita Purwaka Caruban Nagari. Adalah seorang filolog, Prof. Slamet Muljana,
yang membahasnya dalam sebuah buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara (diterbitkan ulang LKiS, 2005). Dia
menafsirkan bahwa Fatahillah adalah seorang muslim China yang sebelumnya
bernama Toh A Bo alias Pangeran Timur. Pendapatnya itu didasarkan pada data
kronik Tionghoa yang berasal dari kelenteng Semarang dan kelenteng Talang
(Cirebon).
Menurut Muljana, semula Syarif Hidayat Fatahillah adalah panglima tentara
Demak. Tokoh ini identik dengan Sunan Gunung Jati. Toh A Bo adalah putra Sultan
Trenggana, Tung Ka Lo. “Fatahillah adalah orang kelahiran Demak dan berasal dari
bangsawan tinggi, yakni putra Sultan Demak,” kata Muljana
Nama Fatahillah kemudian dipakai oleh Toh A Bo ketika dia dinobatkan
sebagai Sultan Banten. “Tidak dapat dikatakan dengan pasti kapan Fatahillah
menjadi sultan. Yang pasti pada 1552 dia meninggalkan Banten dan menetap di
Cirebon serta mendirikan kesultanan Cirebon. Kesultanan Banten dia serahkan
kepada putranya, Hasanuddin. Pada 1570 Fatahillah wafat dan dimakamkan di
Sembung, Bukit Gunung Jati,” demikian pendapat Muljana.
Banyak pakar sampai kini masih menyangsikan tokoh Fatahillah, Faletehan,
dan Syarif Hidayat. Benarkah dia seorang tokoh sejarah sekaligus pendiri kota
Jakarta dan mengacu pada satu nama yang sama, benarkah dia hanya seorang tokoh
fiktif, benarkah dia seorang muslim China, dan berbagai pertanyaan lain masih
sulit dijawab kebenarannya. Identifikasi tokoh Fatahillah memang merupakan
perdebatan akademis yang belum mencapai titik temu sampai kini. Hal ini
tentunya menjadi rumit karena sumber-sumber yang tersedia masih terbatas.
Namun sudah terlanjur, tokoh Fatahillah dipandang sebagai sosok pahlawan
sekaligus pendiri kota Jakarta.
Hubungan antara Fatahillah dan Sunan Gunung Jati pun dapat dilihat melalui
cerita berikut….
Syarif hidayatullah dan ibunya, syarifah Muda’im, datang ke
negeri caruban Larang, jawa barat, pada tahun 1475 m. Setelah mereka singgah
dulu di gujarat dan pasai untuk menambah pengalaman. Ketika mereka sampai di
negeri caruban larang, keduanya disambut gembira oleh pangeran cakrabuana dan
keluarganya. Ketika ibu dan anak itu tiba di caruban larang, syekh kahfi sudah
wafat dan dimakamkan di pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan
makam gurunya, syarif muda’im minta diizinkan tinggal di pasambangan atau
guungjati, cirebon.
Syarifah muda’im dan putranya, syarif hidayatullah,
menrsuhkan usaha syekh kahfi dengan membuka pesantren gunung jati. Maka, nama
syarif hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan sunan gunung jati. Tibalah
saat yang ditentukan, yaitu pangeran cakrabuana menikahkan anaknya, Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Pada tahun 1479 m. Pangeran cakrabuana
karena usianya sudah lanjut, menyerahkan kekuasaan negeri caruban larang kepada
syarif hidayatullah dengan gelar susuhunan yang berarti orang yang dijunjung
tinggi.
Pada tahu pertama pemerintahannya, syarif hidayatullah
berkunjung ke pajajaran untuk mengunjungi kakeknya, yaitu prabu siliwangi. Sang
prabu diajak masuk islam, tetapi tidak mau. Meskipun prabu siliwangi tidak mau
masuk islam, ia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama islam di wilayah
pajajaran. Kemudian syarif hidayatullah melanjutan perjalanan ke serang,
banten.
Penduduk serang sudah ada yang masuk islam karena banyak
saudagar arab dan gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Meskipun demikian,
kedataga syarif hidayatullah disambil baik oleh adipati Banten. Bahkan syarif
hidayatullah dijodohkan degan putri adipati banten yang bernama nyi kawungten.
Dari perkawinan ini, ia dikaruniai dua orang anak, yaitu Nyi rabu winaon dan
pangeran sebakingking.
Dalam menyebarkan gama islam di tanah jawa, syarif
hidayatullah atau sunan gunung jati tidak bekerja sendirian. Ia sering
bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di masjid demak. Bahkan, ia juga ikut
membantu pendirian masjid demak. Dari pergaulannya dengan sultan demak dan para
walinya, syarif hidayatullah akhirnya memimpin caruban larang dan
mendirikan kesultanan pakungwati. Dan, ia memproklamirkan diri sebagai raja
dengan gelar sultan.
Dengan berdirinya kesultanan tersebut, cirebon tidak lagi
mengirim upeti kepada pajajaran yang biasanya disalurkan lewat kadipaten galuh.
Namun, tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh raja pajajaran. Ia
tidak peduli terhadap orang yang berdiri di balik kesultanan cirebon. Maka, ia
mengirimkan pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki jagabaya. Tugas
mereka adalah menangkap syarif hidayatullah yang dianggap telah lancang
mengangkat diri sebagai raja tandingan pajajaran.
Tapi, usaha ini tidak berhasil, ki jagabaya dan anak buahnya
malah tidak kembali ke pajajaran. Mereka masuk islam dan menjadi pengikut
syarif hidayatullah. Maka pengaruh kesultanan pakungwati semakin bertambah
besar karena prajurit dan perwirapilihan pajajaran bergabung ke cirebon.
Berbagai daerah lain, seperti surantaka, japura, wana giri dan telaga, juga
menyatakan diri menjadi wilayah kesultanan pakungwati di cirebon.
Setelah pelabuhan muara jati diperluas, maka semakin
bertambah besar pengaruh kesultanan pakungwati. Banyak pedagang besar negeri
asing yang datang menjalin pershabatan, di antaranya negeri tiongkok. Bahkan
salah seorang keluarga istana cirebon menikah dengan pembesar negeri cina yang
berkunjung ke cirebon, yaitu Ma Huan. Maka, jalinan antara cirebon dan negri
cina semakin erat.
Sunan gunung jati juga pernah diundang ke negeri cina dan
menikah dengan putri kaisar cina yang bernama putri Ong tien. Pada saat itu,
kaisar cina yang berasal dari dinasti ming jua bragama islam. Dengan perkawinan
itu sang kaisar ingin menjadi hubungan baik antara cirebon dan negeri cina. Hal
ini ternyata menguntungkan bangsa cina dalam dunia perdagangan.
Setelah menikah dengan sunan gunung jati, maka putri ong
tien diganti namannya menjadi nyi ratu rara semanding. Tak salah, jika istana
dan masjid cirebon dihiasai dan diperluas dengan berbagai motif hiasan dinding
dari negeri cina. Pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, antara
lain para wali sanga dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh raden patah,
penguasa demak. Dalam pembangunan itu, sunan kalijaga mendapat penghormatan
untuk mendirikan soko tatal sebagai lambat persatuan umat.
Setelah sunan gunung jati selesai membangun masjid, ia
memerintahkan membangun jalan raya yang menghubungkan cirebon dengan berbagai
daerah kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan islam di seluruh tanah
pasundan. Prabu siliwangi hanya bisa menahan diri terhadap kembangan wilayah
cirebon yang semakin luas itu. Bahkan, wilayah pajajaran sendiri sudah semakin
terhimpit.
Pada tahun 1511m, malaka diduduki oleh bangsa portugis.
Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke pulau jawa. Pelabuhan sunda
kelapa menjadi sasaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak
bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Karena itu, raden
patah mengirim adipati unus atau pangeran sebrang lor untuk menyerang portugis
di malaka. Tapi usaha itu tidak membuahkan hasil karena persenjataan portugis
terlalu lengkap. Dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di malaka.
Ketika adipati unus kembali ke jawa, seorang pejuang dari
pasai (malaka) bernama fatahillah ikut berlayar ke pulau jawa. Sebab, pasai
sudah tidak aman bagi mubaligh seperti fatahillah. Karena itu, ia ingin
menyebarkan agama islam di tanah jawa. Raden patah wafat pada tahun 1518 M,
lalu kedudukannya digantikan oleh adipati unus atau pangeran sebrang lor.
Ketika ia baru saja dinobatkan, ternyata muncul berbagai pembrontakan dari
daerah pedalaman. Saat memadamkan pembrontakan itu, pangeran sabrang lor
meninggal dunia dan gugur sebagai pejuang syuhada.
Pada tahun 1521 M, sultan demak dipegang oleh raden
trenggana, putra raden patah yang ketiga. Di dalam pemerintahannya, fatahillah
diangkat sebagai panglima perang yang akan ditugaskan mengusir portugis di
sunda kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan portugis di malaka
narus mengangkat senjata lagi sekarang. Dari demak, awalnya pasukan yang
dipimpinnya menuju cirebon. Kemudian, pasukan gabungan demak dan cirebon itu
menuju sunda kelapa yang sudah dijarah portugis dengan bantuan pajajaran.
Mengapa pajajaran membantu Portugis? Sebab, pajajaran merasa
iri dengan dendam terhadap perkembangan wilayah cirebon yang semakin luas.
Ketika portugis bersedia membantu merebut wilayah pajajaran yang dikuasai
cirebon, maka raja pajaran menyetujuinya. Lalu mengapa pasukan gabungan demak
dan cirebon tidak dipimpin oleh sunan gunung jati? Sebab, sunan gunung jati
tahu bahwa ia harus berperang melawan kakeknya sendiri. Maka, ia memerintahkan
fatahillah untuk memimpin serbuan itu.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalaman
bertempur di malaka, fatahillah tahu titik lemah tentara dan siasat portugis.
Dan setiap serangan pasukan demak-cirebon selalu membawa hasil gemilang.
Akhirnya portugis dan pajajaran kalah. Lalu portugis kembali ke malaka.
Sementara itu, pasukan pajajaran tercerai berai tidak menentu. Selanjutnya,
fatahillah ditugaskan mengamankan baten dari gangguan para pembrontak yaitu
sisa sisa pasukan pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena
fatahillah dibantu putra sunsn gunung jati yang bernama pangeran sebakingking.
Di kemudian hari, pangeran sebakingking menjadi penguasan
Banten dengan gelar pangeran Hasanuddin. Kemudian, fatahillah diangkat menjadi
rasa oleh segenap adipati di sunda kelapa. Dan, ia mengubah nama sunda kelapa
menjadj jayakarta. Sebab sunan gunung jati selaku sultan cirebon telah memerintahkannya
untuk meluaskan daerah cirebon agar islam lebih merata di jawa barat.
Fatahillah berturut-turut dapat menaklukkan daerah telaga,
sebuah negara kecil yang dikuasai oleh raja Budha bernama prabu pacukuman.
Kemudian, kerajaan galuh hendak meneruskan kebesaran pajajaran lama. Raja galuh
ini bernama prabu cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal, yaitu aria
kiban. Tapi, galuh tidak dapat membendung kekuatan cirebon. Akhirnya, raja dan
senopatinya tewas dalam peperangan itu.
Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih fatahillah.
Akhirnya, sunan gunung jati memanggil ulama dari pasai itu ke cirebon. Sunan
gunung jati menjodohkan fatahillah dengan ratu wulung ayu. Sementara itu,
kedudukan fatahillah selaku adipati jayakarta diserahkan kepada ki bagus angke.
Ketika usia sunan gunungjati sudah semakin tua, maka ia mengangkat putranya,
yaitu pangeran muhammad arifin, sebagai sultan cirebon dengan gelar pasara
pasarean. Dan fatahillah yang sering disebut tugabgus atau kiai bagus pasai
diangkat menjadi penasehat sang sultan.
Sunan gunung jati lebih memusatkan diri pada penyiaran
dakwah islam di gunung jati atau pesantren pasambangan. Namun, lima tahun sejak
pengangkatannya, pangeran muhammad arifin mendadak meninggal dunia mendahului
ayahnya. Kemudian, kedudukan sultan diberikan kepada pangeran sebakingking yang
bergelar sultan maulana hasanuddin dengan pemerintahan di banten. Sementara
itu, sultan cirebon hanya bergelar adipati cabon I walaupun cirebon masih tetap
digunakan sebagai kesultanan. Dan, adipati carbon I ini adalah menantu
fatahillah yang diangkat sebagai sultan cirebon oleh sunan gunung jati.
Dari data-data
diatas, ada yang mengatakan bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati berbeda.
Namun, ada juga yang mengatakn bahwa mereka sama. Namun, kebanyakan sumber dan
pendapat memilih untuk menyimpulkan bahwa mereka berdua adalah orang yang
berbeda.
Sumber :
Sumber :
https://www.brilio.net/news/ternyata-fatahillah-bukan-sunan-gunung-jati-ini-penjelasannya-150624x.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar