AYO MENGENAL ZAMAN BATU...
Manusia pertama diperkirakan hidup di bumi sejak 3,4 juta tahun yang
lalu. Nah, masa sejak manusia pertama hidup hingga 12.000 tahun yang lalu (kalapleistosen) disebut dengan Zaman Paleolithik. Lho, apa itu Paleolithik ? Jadi, sebelum membahas Paleolithik, kita akan membahas tentang zaman batu secara umum terlebih dahulu….
Jadi, para ahli melakukan penelitian atas kehidupan manusia zaman pra-aksara melalui berbagai analisis. Diantaranya,
melakukan penelitian dengan menganalisis hasil kebudayaan yang ditinggalkan. Atau, dapat juga dengan menganalisis corak kehidupannya. Berdasarkan analisis kebudayaan yang ditinggalkan, zaman pra-aksara dibedakan menjadi dua, yaitu zaman batu dan zaman logam. Pembagian zaman tersebut tidak menggunakan batas-batas waktu yang
jelas untuk setiap zamannya. Mungkin sekali zaman-zaman tersebut berlangsung secara bersamaan. Karena, pengelompokan zaman tersebut hanya ditentukan berdasarkan benda-benda yang
ditemukan.
Namun, yang
akan kita bahas dalam artikel ini hanyalah zaman batu. Jadi,
pada zaman batu, semua peralatan terbuat dari batu. Meskipun masih ada juga alat-alat tertentu yang
terbuat dari tulang dan kayu. Walaupun demikian,
zaman tersebut sudah didominasi oleh alat-alat yang
terbuat dari batu dalam hal penggunaan. Berdasarkan metode tipologi, atau cara untuk menentukan umur suatu alat berdasarkan bentuk atau tipe benda peninggalan tersebut, dan dilihat dari perkembangannya
, zaman batu dibedakan menjadi 4,
yaitu :
a.
Zaman batu tua (palaeolithikum)
b.
Zaman batu madya (mesolithikum)
c.
Zaman batu muda (neolithikum)
d.
Zaman batu besar (megalithikum)
Zaman ini berakhir sekitar abad 6000-2000 SM dengan ditemukannya penggunaan logam.
1.
Awal zaman batu
Pada tahun 2010, ditemukan fosil tulang hewan yang merupakan bantalan peralatan batu di bawah Awash Valley, Ethiophia. Fosil tersebut ditemukan oleh tim internasional
yang dipimpin oleh Shanon McPherron. Fosil tersebut diperkirakan berumur 3,4 juta tahun. Hal tersebut merupakan bukti tidak langsung peralatan batu tertua yang ditemukan di dunia. Penemuan arkeologi di
Kenya pada tahun 2015 mengidentifikasi kemungkinan bukti tertua dari penggunaan
peralatan batu adalah oleh Pltypos kenyanthropus (homininfosil yang
diperkirakan berumur 3,2-3,5 juta tahun yang ditemukan di Danau Turkana, Kenya,
padatahun 1999).
Peralatan dari batu tertua yang
diketahui telah digali di Lomekwi 3 di Turkana Barat, barat laut Kenya, dan diperkirakan telah berumur 3,3 juta tahun. Sebelum penemuan ini, ditemukan “Lomekwian”, alat batu tertua yang
ditemukan di di Gona, Ethiophia, pada lapisan sedimen paleo yang terendam oleh Sungai Awash. Semua alat itu berasal dari Formasi Budisama, yang terletak di atas
disconformity, atau lapisan yang hilang, yang pada awalnya berupa 2,9-2,7 mya. Salah satu hal yang mencolok dalam penemuan ini adalah, mereka berasal dari akhir Zaman Liosen, dimana sebelumnya, penemuan peralatan tersebut diduga berevolusi hanya pada Zaman Pleistosen.
Rogers dan Semaw, excavator di wilayah tersebut mengatakan, “… awal dari pembuatan peralatan batu dikuasai oleh flinknappers, alasan yang masuk akal dari ketiadaan alat batu kekehadirannya termasuk kesenjangan dalam catatan geologi”. Hingga saat ini, spesies
yang membuat peralatan pada Masa Pliosen masih belum diketahui.
2.
Akhir Zaman Batu
Zaman ini berakhir dengan ditemukannya inovasi dalam hal teknik peleburan bijih. Di sisi lain, penemuan ini memulai zaman baru, yaitu zaman perunggu. Mengapa perunggu ? Karena, logam yang paling sering diproduksi adalah perunggu, yang
merupakan perpaduan dari tembaga dan timah, yang masing-masing dilebur secara terpisah.Transisi dari zaman batu ke zaman perunggu adalah periode dimana orang-orang dapat mencium bau tembaga, namun belum memproduksi perunggu.Waktu
yang dikenal dengan Copper Age, adau Chalcolithic, adalah periode awal Zaman Perunggu yang merupakan bagian dari Zaman Logam. Zaman perunggu kemudian diikuti dengan zaman besi. Peralatan dari batu tetap digunakan secara berdampingan dengan logam untuk beberapa hal, salah satunya adalah peralatan dari zaman Neolithik,
seperti tembikar batu.
Transisi dari Zaman Batu terjadi antara 6000-2500 SM bagi manusia yang hidup di Afrika Utara dan Eurasia. Bukti awal kehidupan manusia pada Zaman Logam ditemukan berumur sekitar 6000-5000 SM. Salah satunya adalah catatan tambang Rudna Glava di Serbia. Kemudian, ada juga Otzi Iceman, mumi yang diperkirakan berasal dari 3300 SM, yang menunjukkan penggunaan kapak tembaga dan pisau batu.
Di daerah seperti Subsaharan Afrika, Zaman Batu diikuti langsung oleh zaman besi. Sedangkan di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara, teknologi zaman logam mulai berkembang di akhir Zaman Batu, yaitu 6000 SM. Masyarakat Eropadan Asia mengalami pasca zaman batu sekitar 4000 SM. Sedangkan proto-inca budaya Amerika Selatan masih berada pada tingkat Zaman batu sampai sekitar 2000 SM.
Transisi dari Zaman Batu terjadi antara 6000-2500 SM bagi manusia yang hidup di Afrika Utara dan Eurasia. Bukti awal kehidupan manusia pada Zaman Logam ditemukan berumur sekitar 6000-5000 SM. Salah satunya adalah catatan tambang Rudna Glava di Serbia. Kemudian, ada juga Otzi Iceman, mumi yang diperkirakan berasal dari 3300 SM, yang menunjukkan penggunaan kapak tembaga dan pisau batu.
Di daerah seperti Subsaharan Afrika, Zaman Batu diikuti langsung oleh zaman besi. Sedangkan di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara, teknologi zaman logam mulai berkembang di akhir Zaman Batu, yaitu 6000 SM. Masyarakat Eropadan Asia mengalami pasca zaman batu sekitar 4000 SM. Sedangkan proto-inca budaya Amerika Selatan masih berada pada tingkat Zaman batu sampai sekitar 2000 SM.
3.
Konsep zaman batu
Istilah Zaman Batu dan Zaman Logam tidak pernah
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kemajuan dan periode dalam zaman pra-sejarah
hanya diukur dengan jenis bahan suatu alat. Namun juga dapat dilihat
berdasarkan organisasi sosial, sumber makanan yang dieksploitasi, adaptasi
terhadap iklim, awal pertanian, memasak, pemukiman, dan agama. Seperti
tembikar, tidak hanya sebagai alat yang terbuat dari batu, namun, dapat juga
memberi petunjuk mengenai kronologis waktu dan daerah-daerah yang menjadi latar
terjadinya suatu peristiwa atau zaman.
4.
Pembagian zaman batu
Ternyata, masa zaman batu dibagi menjadi empat periode.
Yaitu zaman batu tua, zaan batu tengah, zaman batu muda, dan zaman batu besar.
a.
Zaman batu tua (Palaeolithikum)
Zaman palaeolithikum (zaman batu tua) berlangsung pada
zaman pleistosen akhir selama sekitar 600.000 tahun. Juga bertepatan pada zaman
neozoikum terutama pada akhir zaman tresier dan awal zaman kuarter. Pada zaman
ini manusi sudah menggunakan perkakas yang bentuknya sangat sederhana dan
primitif. Peralatan yang digunakan berasal dari batudan tulang. Peralatan
tersebut sebagian besar digunakan sebagai alat untuk maencari makanan dengan
cara berburu dan mengumpulkan makanan.
Pada zaman ini, manusia hidup secara berpindah-pindah
atau nomaden, untuk berburu dan mengumpulkan makanan yang telah disediakan oleh
alam tau food gathering. Di zaman ini, alat-alat budaya yang digunakan terbuat
dari batu yang di susun secara kasar sehingga menjadi sebuah perkakas sehingga
bentuknya masih sederhana. Adapun cara pembuatannya dengan membentur-benturkan
sebuah batu dengan batu lainnya sehingga dapat menyerupai kapak dan bisa
dipergunakan sebagai suatu alat. Alat-alat yang merupakan kebudayaan zaman ini
banyak ditemukan di sekitar Pulau Jawa.
§ Penjelasan
berdasarkan bukti arkeologi
Berdasarkan tempat
diemukannya, hasil-hasil kebudayaan dari zaman batu tua dibagi menjadi beberapa
kebudayaan, yaitu kebudayaan ngandong dan kebudayaan pacitan. Adapun, peralatan
yang telah dihasilkan oleh kebudayaan pacitan adalah kapak perimbas, kapak penetak,
dan kapak genggam. Kapak genggam ialah kapak yang tidak bertangkai dan
digunakan dengan cara menggenggam dan berfungsi dalam menggali umbi dan
menguliti serta memotong binatang. Kapak perimbas ini berfungsi untuk merimbas
kayu, sebagai senjata, dan sebagai alat pemecah tulang. Pendukung dari
kebudayaan pacitan adalah ditemukannnya Pithecanthrpus
erectus.
Kebudayaan pacitan ditemukan oleh Ralph von
Koeningswald pada tahun 1935. Disamping teah ditemukan di daerah Pacitan,
alat-alat batu yang sejenis juga ditemukan di daerah Sukabumi atau Jawa Barat,
Gombong atau Jawa Tengah, dan Perigi, Tambangsawah, yang berada di Bengkulu,
Lahat yang berada si Sumatera Selatan, Kalianda di Lampung, Awal Bangkal di
Kalimantan Selatan, Ceenge di Sulawesi Selatan, Sembiran, Trunyan, di Bali,
Batu Tring di Sumbawa, Maumere di Flores, dan Atambua di Timor.
Pada Kebudayaan Ngandong,
alat yang digunakan adalah flakes tau aat serih seperti enusuk atau pisau,
namun terdapat jug aalat yang terbuat dari batu induk. Alat-alat serpih ini
biasanya digunakan untuk megiris daging, buah-buahan, dan umbi-umbuan. Alat
dari Kebudayaan Ngandong jyga ditemukan di daerah Sangiran, Jawa Tengah, dan
Cabenge, Sulawesi Selatan. Manusia pendukung pada Kebudayaan Ngandong yaitu Homo wajakensis dan Homo soloensis.
§ Ciri-ciri
kehidupan masyarakat di zaman palaeolithikum
Alat
perburuan masih kasar
Hidup berburu dan meramu. Beberapa disertai
menangkap ikan (food gathering)
Hidup
berkelompok antara 3 - 10 orang
Telah
ditemukan api
Hidup nomaden
(berpindah-pindah)
Peralatan terbuat dari batu atau tulang yang
masih kasar
Jenis alat yang digunakan adalah kapak
genggam, kapak perimbas, dan alat serpih
Manusia hidup mencari makan dengan meramu dan
berburu
Belum mengenal seni
§ Hasil kebudayaan
a.
Kebudayaan Pacitan
Pada tahun
1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan kapak genggam di daerah Pacitan,
Jawa Timur. Kapak genggam itu berbentuk kapaktetapi tidak bertangkai. Bentuknya
masih kasar dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Kapak
genggam ini juga disebut kapak perimbas. Kapak ini digunakan untuk menusuk
binatang,menguliti binatang, memotong kayu, memecahkan tulang binatang buruan,
dan menggali tanah saat mencari umbi-umbian. Pembuatan kapak genggam dilakukan
dengan cara memangkas salah satu sisi dari batu sampai salah satu sisinya
menajam dan sisi lainnya apa adanya sebagai tempat menggenggam.Selain kapak
perimbas, di Pacitan juga ditemukan chopper sebagai alat
penetak dan beberapa alat-alat serpih.
Pada awal
penemuannya semua kapak genggam ditemukan di permukaan bumi, sehingga tidak
dapat diketahui secara pasti berasal dari lapisan mana. Berdasarkan penelitian
yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan diperkuat dengan adanya
penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan oleh tim
peneliti Indonesia-Perancis diwilayah Pegunungan Seribu/Sewu maka dapat
dipastikan bahwa kapak genggam/Chopper dipergunakan oleh manusia jenis Homo
Erectus. Daerah penemuan kapak perimbas/kapak genggam selain di Punung
(Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain yaitu seperti Jampang
Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan KaliAnda (Sumatera),
Awang bangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).
b.
Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan
Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo,dekat Ngawi. Di daerah
ini banyak ditemukan alat-alat dari batu dan juga dari tulang. Alat-alat dari
tulang tersebut berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang kemungkinan
digunakan sebagai alat penusuk, pengorek, dan mata tombak. Selain itu juga
ditemukan tombak yang bergerigi. Alat yang terbuat dari batu bentuknya indah
seperti kalsedon disebut flakke. Flakke adalah alat-alat
serpih terbuat dari pecahan-pecahan batu kecil, digunakan sebagai alat penusuk,
pemotong daging, dan pisau. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan
lukisan pada dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi
hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan). Pendukung kebudayaan
Ngandong adalah Homo soloensis dan Homo wajakensis. Penghidupan mereka masih
berasal dari pengumpulan makanan (food
gathering). Mereka mencari makanan berupa umbi-umbian dan binatang.
§ Teknik pembuatan peralatan batu pada zaman
palaeolithikum
a. Teknik
Pemangkasan, yaitu teknologi yang dilakukan dengan cara dimana batu yang akan
dibuat ditempatkan pada paron (landasan untuk menempa) atau dipegang, kemudian
permukaan batu yang dikehendaki dipangkas dengan martil batu untuk memperoleh
bentuk tajaman dan pegangan. Teknologi ini nantinya menghasilkan alat-alat batu
seperti kapak genggam, kapak perimbas, dan kapak penetak baik yang berasal dari
Kebudayaan Pacitan maupun Kebudayaan Ngandong. Alat-alat batu tersebut dibuat
dari jenis batuan tufa, gamping kersik, dan batuan endap.
b. Teknik
Pembenturan, yaitu teknologi yang dilakukan dengan cara membenturkan batu
dengan batu sehingga menghasilkan pecahan-pecahan batu. Pecahan-pecahan batu
tersebut kemudian dikerjakan lebih lanjut dengan menggunakan dua jenis
teknologi, yaitu:
§ Teknik
Clacton, yaitu membuat alat-alat batu untuk menghasilkan dataran pukul lebar
dan kerucut pukul tebal. Teknologi ini digunakan untuk membuat kapak perimbas
dan alat-alat serpih terutama dari Kebudayaan Ngandong. Hasil dari teknik ini
banyak ditemikan di Sangiran.
§ Teknik
Levallois, yaitu membuat alat-alat batu unutk menghasilkan dataran pukul untuk
berbidang-bidang. Teknologi ini digunakan untuk membuat kapak perimbas dan
alat-alat serpih terutama dari Kebudayaan Pacitan.
§ Manusia purba yang hidup di Zaman
Palaeolithikum
a. Pithecanthropus
Erectus/ Homo Erectus
b. Homo
Wajakensis dan Homo Soloensis
b.
Zaman batu tengah (Mesolithikum)
Zaman Mesolithikum (zaman
batu tengah) dimulai pada akhir zaman es sekitar 10.000 tahun yang lalu. Zaman
ini disebut juga zaman “mengumpulka makanan (food gathering) tingkat lanjut”.
Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa
Melanesoide yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semarang, Aeta, Sakai dan
Aborigin. Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan bekas-bekasnya di
Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores.
§ Ciri-ciri
kehidupan masyarakat di Zaman mesolithikum
Masih nomaden tapi
sebagian sudah ada yang menetap dan masih melakukan food gathering
(mengumpulkan makanan)
Alat-alat yang
dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni masih merupakan
alat-alat batu kasar.
Alat-alat zaman
mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak pendek (hache Courte)
Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu kali yang dibelah.
Alat-alat diatas
banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Flores.
Alat-alat kebudayaan
Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung, Jawa Timur yang disebut Abris
Sous Roche antara lain: Flakes (Alat serpih),ujung mata panah, pipisan, kapak
persegi dan alat-alat dari tulang.
Ditemukan
Kjokkenmoddinger, yaitu bukit-bukit kerang berupa sampah dapur.
Ditemukan Abris Sous
Roche, yaitu gua-gua yang digunakan sebagai tempat tinggal
Manusia pada zaman ini
telah mengenal seni berupa lukisan pada dindng gua. Lukisan berupa cap tangan
dan gambar babi hutan.
Alat yang digunakan
disebut gengan pable atau kapak Sumatera
Sudah mulai mengenal
kepercayaan
§ Hasil kebudayaan
Zaman Mesolithikum
terjadi pada masa Holosen setelah zaman es berakhir. Pendukung dari kebudayaan
ini adalah Homo Sapiens yang merupakan manusia cerdas. Penemuannya berua fosil
purba yang banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Flores.
Manusia zaman Mesolitikum hidup di gua-gua,
tepi pantai, atau sungai, disebut dalam bahasa Denmark, kjokkenmoddinger (bukit
sampah = bukit kerang), yang banyak ditemukan di pantai timur Sumatra. Penemuan
alatnya adalah pebble disebut juga kapak Sumatra), kapak pendek (hache courte),
dan pipisan (batu penggiling). Selain tempat-tempat di atas, juga terdapat
abris sous roche (gua sampah) di Gua Sampung, (Ponorogo, Jawa Timur), Pulau
Timor, Pulau Roti, dan Bojonegoro (tempat ditemukannya alat dari tulang).
a. Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger berasal dari bahasa Denmark (kjokken=
dapur,modding:sampah)yang berarti sampah dapur.Kjokkenmoddinger
ditemukan di sepanjang pantai-pantai Sumatra timur laut, di antara Langsa, di
Aceh dan Medan.
Kjokkenmoddinger merupakan timbunan atau tumpukan fosil
kulit kerang dan siput yang menggunung. Para ahli menduga bahwa manusia purba
yang hidup pada zaman ini sudah menetap di tepi-tepi pantai dalam waktu lama.
Fakta ini terlihat dari tinggi kjokkenmoddinger yang mencapai tujuh meter.
Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnyamenemukan kapak genggam.Kapak
genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan
pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya
yaitu dipulau Sumatra.Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu
kali yang dipecah-pecah.
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga
ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang
disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang,
juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan
selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan
cat merah. Bahan cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan
digunakan untuk keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
b. Abris
Sous Roche
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang
yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal. Penelitian mengenai kebudayaan
Abris sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein Callenfels pada tahun
1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun). Alat-alat yang
ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung
Bone Culture. Di daerah Besuki (Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak
Sumatera dan kapak pendek. Abris sous roche juga ditemukan pada daerah Timor
dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon
bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.
Hasil kebudayaan Abris sous roche juga ditemukan di Lamancong (Sulawesi
Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala ditemukan pada
suatu goa yang disebut Goa Leang PattaE dan inti dari kebudayaan ini adalah
flakes dan pebble. Selain Toala, para ahli juga menemukan kebudayaan
Bacson-Hoabinh dan Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan merupakan
pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam kebudayaan, yaitu
kebudayaan pebble (alat-alat tulang yang datang dari jalan barat) dan
kebudayaan flakes (datang melalui jalan timur).
1) Sampung Bone
Culture
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa
lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931,
ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes, kapak yang sudah
diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari perunggu dan
besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang ditemukan itu adalah
tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
2) Toala
Kebudayaan Toala dan yang serumpun dengan itu disebut
juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang
menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur.
Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang
belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai
kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang
tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan mengenai
perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah yang
disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan ini
ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan
Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
3) Bacson-Hoabinh
Kebudayaan ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam
bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat
kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu giling. Pada
kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua dan juga di
bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok dan diberi
cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat mengembalikan
hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di
bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari Medan sampai ke
pedalaman Aceh.
c.
Zaman batu muda
(Neolithikum)
Zaman ini merupakan revolusi pada masa pra-aksara. Telah terjadi
perubahan yang mendasar pada corak kehidupan dan cara bertempat tinggal maupun
bertahan hidupnya. Mereka sudah meninggalkan hidup berburu dan mulai menetap
serta menghasilka makanan (food producing). Mereka menciptakan alat-alat
kehidupan mulai dari alat kerajinan menenun periuk, membuat rumah, dan mengatur
masarakat.
Pada zaman
ini, alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan. Contohnya seperti kapak
persegi, beliung, pacul, dan torah, yang digunakan sebagai alat untuk
mengerjakan kayu. Seperti ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, Nusatenggara,
Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan, kapak batu sama seperti kapak persegi, hanya
saja bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sedangkan kapak
lonjong hanya ditemukan di Minahasa dan Irian, Seram, Gorong, Tanimbat, Leti,
dan Serawak. Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah) ditemukan di daerah
Jawa, Sumatera, Melolo (Sumba). Manusia pendukung kebudayaan Neolithikum adalah
bangsa Austronesia dan Austro-Asia. Berdasarkan penelitian, manusia purba yang
berada di zaman ini sudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu
Polinesia.
Perkembangan
kebudayaan yang ada di zaman Neolithikum memang sudah sangat maju jika
dibandingkan dengan zaman-zaman batu sebelumnya. Pada zaan batu baru ini telah
erjadi migrasi secara bergelombag yang dilakukan bangsa Proto Melayu yang adal
di wolayah Yunan, Cina Selatan mengarah ke Asia Tenggara, termasuk mengrah ke
Indonesia. Bangsa Proto tersebutlah yang membawa kebudayaan berupa kapak
persegi dan kapak lonjong serta melakukan penyebaran mengarah ke daerah-aerah
yang akan dituju. Kedua kebudayaan tersebut menjadi ciri khas kebudayaan
Neolithikum.
Pada zaman
batu baru ini sudah muncul beberapa keterampilan mengasah benda-beda sampai halus.
Dengan demikian, benda-benda yang telah dihasilkan atau kapak lonjong dan kapak
persegi, sudah dibbuat dengan menggunakan teknik asahan yang sangat begitu
halus. Pada masa neolithikum, kepandaian dalam membuat benda-benda gerabah
semakun maju dan sudah dibuat isisnya menggunakan teknik yang halus.
Peninggalan kebudayaan zaman Neolithikum.
§ Hasil
Kebudayaan
Menurut R.
Soekmono, kebudayaan zaman batu baru merupakan dasar dari kebudayaan Indonesia
sekarang. Kebudayaan Neolithikum telah dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan
kapak lonjong dan kapak persegi. Pada kapak persegi, memiliki bentuk persegi
panjang atau trapesium. Kebudayaan kapak persegi berasal dari Asia daratan yang
akhirnya menyebar ke Indonesia melewati jalur barat, yaitu Malaka, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Jawa.
o
Kapak persegi
Kapak ini
telah dibuat menggunakan batu api kalsedon. Kapak persegi yang telah didapatkan
pada daerah Jawa, Bali, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan dan
Maluku. Adapun beberapa tempat yang ada di Sumatera dan Jawa yang juga telah
ditemukan berada di pusat-pusat kerajinan kapak persegi. Misalnya, di Lahat
atau Palembang, Bogor, Purwakarta, Karawang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan di
Pacitan serta lereng selatan yang ada di Gunung Ijen di daerah Banyuwangi, Jawa
Timur. Terdapat variasi-variasi lain dari kapak persegi, yaitu kapak tangga,
kapak atap, kapak bahu, kapak penarah, dan kapak biola.
o
Kapak lonjong
Kapak
lonjong ialah kapak yang penampangnya memiliki bentuk bulat telur atau lonjong.
Ujungnya yang agak lancip yang biasanya telah dipasangi tangkai dengan bentuk
bulat diujung lainnya yang dapat diasah sampai tajam. Adaun ukuran kapak
lonjong terdapat ukuran besar kecil dimana biasanya digunakan sebagai benda
wasiat. Kapak lonjong sering juga disebut dengan Neolith Papua disebabkan
adanya penyebaran terbatas yang ada di daerah Papua dan telah dipakai oleh
bangsa Papua Melanosoid. Di daerah lainnya, kapak lonjong juga telah ditemukan
di Sulawesi, Flores, Sangihe Talaud, Maluku, Leti, dan Kepulauan Tanibar.
§ Sistem
Kepercayaan
Pada akhir
zaman Neolithikum, sudah dikenal dengan adanya sistem kepercayaan dalam bentuk
dinamisme dan animisme. Animisme ialah suatu kepercayaan mengenai keberadaan
arwah nenek moyang yanng mempunyai kekuatan gaib. Sedangkan dinamisme ialah
suatu kepercayaan mengenai benda-benda yang dianngap memiliki kekuatan gaib.
Mereka memercayai bahwa terdapat kehidupan lain sesudah mati sehingga
diadakanlah segalam macam upacara, terutama untuk kepala sukunya. Mayat yang
dikubur disertai dengan segala macam benda untuk menjadi bekal di alam lain.
Untuk tempat peringatan, maka didirikanlah monumen atau bangunan yang sanagat
rutin dberikan sesajen agar arwah yang sudah meninggal atau leluhur dapat
melindungi dan memberikan sebuah kesejahteraan untuk sukunya.
d.
Zaman batu besar
(Megalithikum)
Disebut zaman batu besar karena hasil-hasil kebudayaan
umumnya terbuat dari batu dalam ukuran besar. Kebudayaan ini kelanjutan dari
Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutero Melayu yang datang di Nusantara.
Kebudayaan ini berkembang bersama dengan kebudayaan logam di Indonesia, yakni
kebudayaan Dongson. Bangunan-bangunan pada
masa ini juga berupa bangunan-bangunan atau monumen yang terbuat dari batu-batu
yang memiliki ukuran besar. Tujuan dari pembangunan bangunan-bangunan tersebut
adalah sebagai sarana untuk melakukan pemujaan kepada roh nenek moyang.
§
Hasil Kebudayaan
Menhir adalah tiang tugu batu besar yang
berfungsi sebagai tanda peringatan suatu peristiwa atau sebagai tempat pemujaan
roh nenek moyang. Daerah penemuannya di Sumatra Selatan dan Kalimantan.
2) Dolmen
Dolmen adalah meja batu besar yang biasanya
terletak di bawah menhir tempat meletakkan sesaji. Daerah temuannya di Sumba,
Sumatra Selatan, dan Bondowoso (Jawa Timur).
3) Keranda (sarkofagus)
Keranda adalah peti mati yang dibuat dari
batu. Bentuknya seperti lesung dan diberi tutup dari batu. Daerah temuannya di
Bali.
4) Peti kubur batu
Peti kubur batu merupakan kuburan dalam tanah
yang sisi-sisi, alas, dan tutupnya diberi papan dari lempeng batu. Peti kubur
batu ini banyak ditemukan di Kuningan, Jawa Barat.
5) Punden berundak
Punden berundak merupakan bangunan dari batu
yang disusun bertingkat-tingkat (berundak-undak). Fungsinya sebagai bangunan
pemujaan roh nenek moyang yang kemudian menjadi bentuk awal bangunan candi.
Bangunan punden berundak adalah bangunan asli Indonesia.
6) Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus
atau bulat. Waruga biasanya dibuat dari batu utuh. Daerah temuannya di Sulawesi
Tengah dan Utara.
7) Arca
Arca-arca megalit merupakan bangunan batu besar
berbentuk binatang atau manusia yang banyak ditemukan di dataran tinggi
Pasemah, Sumatra Selatan yang menggambarkan sifat dinamis. Contohnya Batu
Gajah, sebuah patung batu besar dengan gambaran seorang yang sedang menunggang
binatang dan sedang berburu.
- §Kebiasaan-kebiasaan
1) Pemujaan matahari
Di Indonesia, matahari dipuja sebagai
matahari, bukan sebagai dewa matahari seperti di Jepang.
2) Pemujaan dewi kesuburan
Dapat kita lihat di candi Sukuh dan candi Ceto
sebagai lambang kesuburan. Di Jawa, pada umumnya Dewi Sri dipuja sebagai dewi
kesuburan dan pelindung padi.
3) Adanya keyakinan alat penolak bala (tumbal)
Biasanya dengan menanam kepala kerbau di
tengah bangunan atau tempat tertentu, maka akan terlindungi dan terbebas dari
marabahaya.
4) Adanya upacara ruwatan
Upacara ruwatan adalah upacara untuk
mengembalikan orang atau masyarakat kepada kedudukan yang suci seperti semula,
misalnya, anak tunggal, anak kembar, pandawa lima, dan bersih desa.
5.
Hal-hal yang berhubungan dengan zaman batu
a.
Madu zaman batu
Madu
Populer Sejak Zaman Batu
Lukisan dinding dari era Kerajaan Baru
Mesir yang menggambarkan lebah dan madu dalam kehidupan sehari-hari sekitar
4.400 tahun lalu adalah bukti bahwa manusia sejak dulu telah menggunakan
produk-produk yang dihasilkan lebah. Bahkan ternyata manusia telah
menggunakannya jauh sebelum zaman itu.
Para ilmuwan hari Rabu mengatakan
mereka menemukan bukti ada beeswax atau lilin madu di barang-barang tembikar
yang dibuat oleh orang-orang dari Zaman Batu yang berasal dari budaya bertani
dan beternak di Eropa, Timur Tengah dan Afrika Utara, termasuk panci masak dari
sebuah lokasi di Turki bagian timur yang berasal dari sekitar 8.500 tahun lalu.
"Bahan kimia lilin lebah yang
khas ditemukan di berbagai lokasi Neolitik di seluruh penjuru Eropa,
memperlihatkan betapa luas hubungan antara manusia dengan lebah madu di zaman
prasejarah," kata seorang ahli geokimia organik Mélanie Roffet-Salque dari
Universitas Bristol di Inggris.
Lilin lebah tersebut ada di
barang-barang tembikar karena orang-orang itu menggunakan madu, yang
meninggalkan jejak lilin madu, atau lapisan lilin lebah di dalam panci untuk
membuatnya kedap air, kata Roffet-Salque.
"Jelas bahwa orang-orang dari
zaman batu mengenali lingkungan mereka dengan baik dan mereka memanfaatkan
sumber daya alam seperti lilin lebah, dan juga getah pohon serta ter,"
kata Roffet-Salque.
Madu adalah alasan utama kenapa mereka memanfaatkan lebah madu, "pemanis yang jarang ditemukan bagi orang-orang prasejarah," kata Roffet-Salque.
Madu adalah alasan utama kenapa mereka memanfaatkan lebah madu, "pemanis yang jarang ditemukan bagi orang-orang prasejarah," kata Roffet-Salque.
"Namun, lilin lebah mungkin juga
digunakan untuk berbagai tujuan teknologi, ritual, kosmetik dan medis,
contohnya untuk membuat pot atau vas tahan air atau melembutkan ter dari pohon birch untuk
dijadikan lem," ujar Roffet-Salque.
Madu tidak bisa langsung dideteksi
karena sebagian besar bahan utamanya adalah gula yang tidak mungkin bertahan di
lokasi-lokasi arkeologi yang telah berusia ribuan tahun.
"Mendeteksi lilin lebah di
peralatan masak memungkinkan kita menyimpulkan bahwa para petani dan peternak
di masa lampau juga memanfaatkan produk-produk lebah: lilin lebah dan
madu," ujar Roffet-Salque.
Dinding-dinding kuno Mesir, seni batu
prasejarah dan bukti-bukti lainnya menunjukkan bahwa manusia telah menggunakan
lebah madu sejak berabad-abad lalu, tapi seberapa lama dan seberapa luas
pemakaiannya masih belum bisa dipastikan.
Para peneliti memeriksa senyawa kimia
yang ada di sekitar 6.000 potongan tembikar yang terbuat dari tanah liat yang
berasal dari lebih dari 150 lokasi Dunia Kuno.
Tembikar yang berasal dari bagian
utara, contohnya dari Skotlandia dan Skandinavia, tidak mengandung lilin lebah.
Hal ini menunjukkan kemungkinan lebah
madu tidak ada di kawasan tersebut karena keadaan cuaca yang lebih keras,
kata ahli biogeokimia dari Universitas Bristol Richard Evershed.
Penelitian ini diterbitkan di
jurnal Nature. [dw]
b. Pulau penyihir
dari zaman batu
TERUNGKAP, Pulau Penyihir dari Zaman Batu
TEMPO.CO, Glasgow - Sebuah situs
arkeologi dari zaman batu berupa tempat ritual yang dilakukan di dalam gua pada
9.000 tahun lalu ditemukan di Blå Jungfrun, pulau di pesisir timur Swedia. Pulau ini telah
lama dikaitkan dengan kisah supranatural, penyihir, dan kutukan.
"Bebatuan besar dan tebing curam Blå Jungfrun memberikan pemandangan lanskap yang dramatis. Selama berabad-abad, pulau tak berpenghuni itu dikaitkan dengan kekuatan supranatural," kata para arkeolog dalam sebuah presentasi saat pertemuan tahunan Asosiasi Arkeologi Eropa di Glasgow, Skotlandia, seperti dilansir Live Science.
Berdasarkan legenda, para penyihir berkumpul di pulau tersebut pada setiap perayaan Paskah untuk menyembah setan. Selain itu, diyakini ada kutukan bagi orang yang memindahkan batuan dari Blå Jungfrun, yakni sengsara seumur hidup.
Tak diketahui kapan kisah dan kepercayaan itu dimulai. "Kami bermaksud mengungkap asal usul legenda itu," ucap juru bicara tim arkeolog tersebut.
Tim gabungan internasional memulai studi lapangan di Blå Jungfrun pada musim semi 2014. "Hasilnya menakjubkan dan mengungkap aktivitas manusia pada zaman batu mesolitik," tulis anggota tim studi ini dari Kalmar County Museum dan Linnaeus University, Swedia, dalam sebuah paparan.
Berdasarkan hasil studi tersebut, tim menduga masyarakat Pulau Blå Jungfrun menjalankan ritual di dalam gua. Sebab, di salah satu gua, ditemukan benda seperti altar tempat manusia dikorbankan untuk dewa. Sedangkan di gua lain ditemukan rongga gua besar bak panggung pertunjukan. Menurut tim, dua gua itu memiliki fungsi berbeda.
Gua pertama memiliki rongga di dalam berdiameter 0,7 meter. Tungku perapian terletak di bawah rongga. "Dari sisa-sisa guratannya, terlihat itu buatan manusia," ujar Ludvig Papmehl-Dufay, arkeolog dari Kalmar County Museum. Meski belum tahu pasti apa yang pernah terjadi di dalam gua tersebut, menurut Dufay, kuncinya ada di tata letak gua.
Untuk masuk ke dalam gua, tutur Dufay, pihaknya harus memutar otak karena ukurannya lebih kecil daripada badan pria dewasa. Namun, setelah tim berhasil masuk, di dalam gua telah menunggu ruangan besar bak auditorium. "Rongga dan tungku api kemungkinan besar tercipta akibat ritual-ritual yang ada," katanya.
Sedangkan gua kedua jauh lebih aneh. Di sini, tim menemukan sebuah kapak batu dan pecahan bebatuan gua yang tampaknya digunakan untuk suatu hal. "Dilihat dari pola pecahannya, saya menebak ini altar," ucapnya. Hanya, ujar dia, kegiatan yang lebih spesifik, seperti pesta atau ritual, kemungkinan besar memang dilakukan.
Pekerjaan para arkeolog untuk mengungkap rahasia masa lalu di Blå Jungfrun terus dilakukan. Mereka kini mulai menyelidiki lapisan di bawah salah satu gua yang kemungkinan besar berasal dari batuan kuarsa. Sebab, alat-alat batu yang ditemukan berbahan kuarsa.
Kini Dufay dan timnya harus berpacu dengan waktu. Sebab, pulau itu sudah menjadi taman nasional. Orang bisa masuk ke dalam meski harus melewati jalur khusus. "Kami berpacu dengan mereka agar tak banyak situs yang rusak," ujar Dufay. Selain itu, penggalian tak bisa dilakukan pada malam hari lantaran pulau tersebut belum dialiri listrik.
"Bebatuan besar dan tebing curam Blå Jungfrun memberikan pemandangan lanskap yang dramatis. Selama berabad-abad, pulau tak berpenghuni itu dikaitkan dengan kekuatan supranatural," kata para arkeolog dalam sebuah presentasi saat pertemuan tahunan Asosiasi Arkeologi Eropa di Glasgow, Skotlandia, seperti dilansir Live Science.
Berdasarkan legenda, para penyihir berkumpul di pulau tersebut pada setiap perayaan Paskah untuk menyembah setan. Selain itu, diyakini ada kutukan bagi orang yang memindahkan batuan dari Blå Jungfrun, yakni sengsara seumur hidup.
Tak diketahui kapan kisah dan kepercayaan itu dimulai. "Kami bermaksud mengungkap asal usul legenda itu," ucap juru bicara tim arkeolog tersebut.
Tim gabungan internasional memulai studi lapangan di Blå Jungfrun pada musim semi 2014. "Hasilnya menakjubkan dan mengungkap aktivitas manusia pada zaman batu mesolitik," tulis anggota tim studi ini dari Kalmar County Museum dan Linnaeus University, Swedia, dalam sebuah paparan.
Berdasarkan hasil studi tersebut, tim menduga masyarakat Pulau Blå Jungfrun menjalankan ritual di dalam gua. Sebab, di salah satu gua, ditemukan benda seperti altar tempat manusia dikorbankan untuk dewa. Sedangkan di gua lain ditemukan rongga gua besar bak panggung pertunjukan. Menurut tim, dua gua itu memiliki fungsi berbeda.
Gua pertama memiliki rongga di dalam berdiameter 0,7 meter. Tungku perapian terletak di bawah rongga. "Dari sisa-sisa guratannya, terlihat itu buatan manusia," ujar Ludvig Papmehl-Dufay, arkeolog dari Kalmar County Museum. Meski belum tahu pasti apa yang pernah terjadi di dalam gua tersebut, menurut Dufay, kuncinya ada di tata letak gua.
Untuk masuk ke dalam gua, tutur Dufay, pihaknya harus memutar otak karena ukurannya lebih kecil daripada badan pria dewasa. Namun, setelah tim berhasil masuk, di dalam gua telah menunggu ruangan besar bak auditorium. "Rongga dan tungku api kemungkinan besar tercipta akibat ritual-ritual yang ada," katanya.
Sedangkan gua kedua jauh lebih aneh. Di sini, tim menemukan sebuah kapak batu dan pecahan bebatuan gua yang tampaknya digunakan untuk suatu hal. "Dilihat dari pola pecahannya, saya menebak ini altar," ucapnya. Hanya, ujar dia, kegiatan yang lebih spesifik, seperti pesta atau ritual, kemungkinan besar memang dilakukan.
Pekerjaan para arkeolog untuk mengungkap rahasia masa lalu di Blå Jungfrun terus dilakukan. Mereka kini mulai menyelidiki lapisan di bawah salah satu gua yang kemungkinan besar berasal dari batuan kuarsa. Sebab, alat-alat batu yang ditemukan berbahan kuarsa.
Kini Dufay dan timnya harus berpacu dengan waktu. Sebab, pulau itu sudah menjadi taman nasional. Orang bisa masuk ke dalam meski harus melewati jalur khusus. "Kami berpacu dengan mereka agar tak banyak situs yang rusak," ujar Dufay. Selain itu, penggalian tak bisa dilakukan pada malam hari lantaran pulau tersebut belum dialiri listrik.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar