When Little Makes Better
Ketika mendengar
kata bahagia, seluruh tubuhku tiba-tiba menegang. Entah kenapa, sistem-sistem
indra pun serentak menajam mencari sesuatu yang pernah mereka proses
sebelumnya. Sedikit pening terasa di dalam tempurung kepalaku. Tepatnya di
dalam otak yang kini denyutnya dapat membuat keningku mengernyit. Pertanda
bahwa di dalam sana, benda misterius itu sedang bekerja. Berusaha membuat
jembatan-jembatan neuron baru untuk mengumpulkan informasi-informasi yang
sempat terlupakan. Sedangkan di dalam dada dan perutku bergejolak perasaan yang
memang tak pernah kasat oleh mata. Di dalam benakku, mulailah terputar
gambar-gambar usang yang berkecamuk buram menampilkan potongan-potongan masa
laluku.
Lalu aku berpikir,
bingung tepatnya. Apa arti kata bahagia ? Pertanyaan itu tiba-tiba
memantul-mantul di dalam rongga kepalaku. Memaksa otak yang sedang sibuk
bekerja untuk menjawabnya. Apa makna bahagia yang sebenarnya ? Apakah hanya
sebatas perasaan senang ? Dan itu dapat dikatakan sebagai kebahagiaan ? Apa
bahagia membuat perasaan kita benar-benar tentram ? Apa bahagia adalah ketika
kita selalu ingin tersenyum walau pada kenyataannya dunia sedang termenung ?
Apa bahagia terjadi ketika kita merasa bahwa kitalah orang yang paling
beruntung di dunia ?
Tiba-tiba aku
terhenyak. Bertanya pada diri sendiri. Jika aku tak mengerti arti kata bahagia,
apakah aku pernah benar-benar bahagia ? Atau sekadar menyebut sesuatu sebagai
kebahagiaan ?
Namun, tiba-tiba
tertangkap sebuah sosok yang samar-samar selalu muncul di potongan-potongan
gambar usang di dalam benakku. Selalu tersenyum, dan membuat perasaanku semakin
tentram. Namun, kadang kulihat wajahnya bersedih, menerawang jauh memikirkan
sesuatu yang tak pernah kuketahui. Ah, ia memang seseorang yang mulia. Pintar
memilih sikap dan perkataan. Selalu berusaha menciptakan kebahagiaan di tengah
kesedihan.
Akhirnya, aku
berhasil menemukan saat-saat aku merasa bahagia. Bahkan benar-benar bahagia.
Walaupun aku belum mengetahui sepenuhnya mengenai arti kata bahagia.
Pernah, beberapa
tahun yang lalu, saat kurasa bahwa duniaku benar-benar runtuh, disaat semua
orang bagaikan setan, bahkan iblis yang sengaja diturunkan untuk menghancurkan
hidupku. Ketika duinia dan Tuhan seakan tak berpihak lagi padaku. Tak ada lagi
yang bia dipercaya. Semua orang saat itu hanyalah orang-orang munafik dengan
topeng tebal yang sengaja dipoles agar terlihat indah. Ketika itu, bahkan
keramaian justru membuatku semakin merasa kesepian. Bagaikan dibuang ke dalam
lubang hampa tak berujung diiringi dengan gema tawa ejekan di sekelilingku.
Rasanya, semua orang pergi dan menjauh, memisahkanku di dalam sebuah dimensi
tak kasat mata dengan batas yang juga tak kasat mata.
Ketika memasuki
rumah, ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya dan membuang seluruh
memoriku tentang hari itu. Menjerit dan menyalahkan semua orang. Alhasil, aku
pun melampiaskan seluruh kekesalanku dengan bertemperamen buruk sepanjang hari.
Tetapi, tetap tak ada yang peduli bahkan sekedar menyadari.
Namun, di
pertengahan malam, entah saat aku berusaha untuk tidur, atau ketika aku memilih
untuk sholat berjamaah -karena malas mengulang sholat jika nantinya salah
rakaat- ia menyadari ada sesuatu yang salah denganku. Kemudian, ia mendekapku
dan mengalirkan hawa hangat tak berperi. Tangannya yang lembut mengusap
perlahan kepalaku yang berambut lepek karena kebanyakan menangis. Tak ada
percakapan, ia hanya membiarkan aku melampiaskan emosiku. Tanpa kusadari, air
mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku. Aku berusaha menahannya sehingga
tubuhku berguncang tak keruan. Setelah sesenggukan sekian lama, akhirnya ia
memulai perakapan. Dengan suara lembutnya, memintaku menceritakan apa yang
telah terjadi. Alhasil, ribuan kata yang sedari tadi tercekat di tenggorokanku
tumpah ruah bak air bah yang membanjiri pedesaan. Lalu, dengan kata-kata
ajaibnya-yang tak dapat kutuliskan disini, karena akan kehilangan originalitas-
ia berhasil membuka hati dan pikiranku yang sedari tadi terkunci oleh amarah.
Melenyapkan cengkraman iblis yang sedari tadi bercokol dan membuat sesak
perasaanku. Dan perlahan, aku merasakan dunia disekitarku memulih. Mulai
terlihat indah dan berwarna. Bahkan, alam bagaikan berpihak kepadaku. Apa yang
awalnya menjadi masalah, kini terlihat sebagai kebahagiaan yang tertunda. Ia
kemudian memelukku lagi, berkata bahwa hal tersebut dapat menenangkan hati dan
pikiranku, karena dengan pelukan, seseorang akan merasa lebih tenang
diakibatkan energi positif yang tersalur ke dalam tubuhnya. Malam itu, aku
dapat tidur dengan lelap karena masalahku telah lenyap, hilang tertiup hawa
kehangatannya.
Hari-hari
selanjutnya, setiap aku bertemu dengan masalah, aku selalu berusaha untuk
memecahkannya. Berkata kepada diriku sendiri, bahwa aku masih memiliki tempat
untuk pulang. Masih memiliki rumah yang hangat dengan seseorang yang
benar-benar peduli kepadaku. Masih ada seseorang yang dapat menghapus air
mataku dan melenyapkan seluruh kegelisahanku dengan sihir ajaibnya. Bahkan, di
pagi hari, sebelum aku berangkat ke sekolah, ia sering menyempatkan diri untuk
memelukku dan memberiku semangat. Dan disaat itulah aku benar-benar merasa
bahagia. Bahagia yang sederhana, yang dulunya dapat kujumpai setiap hari-namun
belum kusadari. Oleh karena itu, aku tak pernah berpikir atau menginginkan
untuk menjadi orang lain, karena dengan begitu aku tak akan menemukan
kebahagiaan terbesarku.
Kawan, ternyata
kebahagiaan terbesarku bukanlah ketika namaku tertulis dalam sebuah surat kabar
sebagai peraih nilai UN tertinggi ke-3 di sebuah provinsi, karena di sisi lain
sahabatku sedang menangis karena gagal masuk SMA favorit incarannya. Bahkan,
rata-rata keseluruhan nilai UN di sekolahku tak mencapai angka 30. Dengan
beberapa orang temanku, juga sahabatku, yang bersedih karena kunci jawaban yang
digunakannya ternyata salah total. Sedih yang ada, bukannya bahagia. Bukan pula
ketika aku berhasil menjuarai lomba fisika sebagai sebuah tim yang diadakan
salah satu universitas negeri di kotaku, karena aku takut berbahagia di atas
hal yang bukan usahaku semata. Bahkan, beberapa orang temanku yang awalnya juga
sama-sama berjuang, namun berbeda kelompok denganku, kemarin sorenya bermurung
durja karena nama timnya tak tertera pada daftar peserta yang lolos menuju
babak final. Padahal, ia sama-sama telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
bertanding dalam lomba tersebut. Begitu pun ketika namaku tertera sebagai salah
satu siswa yang lolos tes tertulis dan akan segera terdaftar menjadi siswa MAN
Insan Cendekia Serpong, karena salah satu temanku yang justru membuat janji
untuk kembali bersekolah bersama, tidak menemukan namanya dalam pengumuman
tersebut. Bahkan, bukan hanya ia, melainkan ribuan siswa lainnya yang telah
sama-sama berjuang, namun belum terpilih oleh takdir, sedang menangis dan mulai
kebingungan mencari sekolah lain yang bukan pilihan utamanya. Bahkan dangan
pengumuman tersebut, walaupun aku benar-benar bersyukur, aku tak dapat lagi
bertemu dengan kebahagiaanku setiap harinya. Untuk sekedar bertemu kembali pun
tak ada yang menjaminnya.
Untuk hal-hal yang
kusebutkan di atas, bukannya aku tidak bahagia ketika mengalaminya. Tentu, aku
sangat bahagia sekaligus bersyukur ketika hal-hal tersebut terjadi. Namun,
kebahagiaan terbesarku adalah ketika aku berhasil menemukan setetes kebahagiaan
di tengah lautan api kesedihan.
Destroyed
Mengenai pengalaman
paling menyedihkan, aku tidak mengetahui secar pasti. Karena aku cenderung
menyimpan kisah-kisah sedih tersebut di dalam brankas memori yang tertutup
rapat dalam ingatanku. Cukup disimpan, tanpa harus mengeluarkannya sejenak untuk
bernapas atau sekedar memunculkan dirinya kembali. Jadi, yang kuceritakan ini
hanyalah kejadian menyedihkan yang masih sempat kuingat.
Sekitar Bulan Maret
tahun 2015, aku dan sahabat-sahabatku yang berjumlah total 9 orang sedang
sibuk-sibuknya menyiapkan diri untuk menghadapi UN. Seringkali kami berkumpul
di suatu tempat, lalu berbicara santai tentang masa depan kami. Tentang SMA, kuliah,
hingga cita-cita kami kedepannya. Kadang, kami membuat janji-janji kecil yang
mengundang gelak tawa.
Sayang, kualitas
pendidikan di daerah kami masih di bawah rata-rata. Sehingga, materi
pemanatapan untuk UN pun masih sangat kurang. Les atau bimbel menjadi hal yang
wajib dengan kondisi seperti itu. Namun, beberapa sahabatku enggan mengikuti
les, bimbel, atau semacamnya. Mereka merasa cukup dengan kemampuan mereka dan
apa yang telah diajarkan oleh sekolah.
Hari demi hari
berlalu. Mirisnya, tingkat kepedulian siswa di sekolahku terhadap UN dan
sejenisnya sangatlah kurang. Tak jarang, kedai pelajaran di sore hari hanya diisi
oleh segelintir orang yang memang benar-benar berniat untuk belajar. Hingga
kepala sekolahku harus berkali-kali
memberi ceramah di pagi hari hanya untuk sekedar mengingatkan betapa pentingnya
kedai. Ditambah di sore hari, ia harus mengejar-ngejar siswa yang berniat untuk
bolos. Sayangnya, sahabat-sahabatku mayoritas masuk ke dalam golongan
orang-orang tesebut. Jika aku bertanya, mereka beralasan, percuma ikut kedai,
yang dilayani hanya anak yang pintar dan aktif bertanya. Para guru tidak peka
dengan ketidaktahuan siswa yang lain, apalagi image mereka memang memang
cenderung buruk di mata para guru.
Namun, menjelang
US, mereka tiba-tiba rajin belajar. Bahkan, hampir seiap malam, mereka datang
ke rumahku untuk belajar hingga pukul 11.00. Di dalam belajar tersebut, tak
lupa kami selipkan doa-doa agar sukses di ujian keesokan harinya. Kadang, kami
merekam acara belajar kami sambil sesekali bercanda. Sehingga, tak jarang
timbul gelak tawa yang kadang berujung pada perbincangan seru.
Semua saat itu
mulai yakin dan mantap pada kemampuan masing-masing. Sehingga, kami mulai
menentukan dimana kami akan sekolah nantinya. Kami pun berkomitmen untuk
menghadapi UN dengan usaha kami sendiri. Pernah suatu siang di Hari Jumat, 3
orang dari sahabatku maju ke depan dan memberikan sedikit tausiyah tentang
kejujuran di acara fiqih nisa mingguan.
Hingga...., tibalah
suatu hari yang mengubah segalanya. Sore itu, sepulang kedai, beberapa orang di
angkatan kami mengumumkan bahwa akan diadkan rapat angkatan di rumah salah satu
siswa. Namun, ketiak ditanya membahas apa, mereka hanya berkata, “Datang aja !
Demi angkatan !”
Selidik punya
selidik, ternyata rapat tersebut diadakan oleh alumni. Mereka datang dan
memprovokasi teman seangkatanku agar membeli kunci jawaban (KJ) untuk UN. Kakak
alumni tersebut juga menyampaikan sebuah konspirasi mengenai sistem pendidikan
yang kacau dan bejatnya para orang yang bekerja di dinas pendidikan. Hingga
pada kesimpulan, seberapa kerasnya kita belajar, tidak akan sukses melewati UN
tanpa KJ.
Alhasil, beberapa
orang terpengaruhi. Apalagi hari itu adalah H-3 UN. Kami dipaksa untuk memberi
jawaban keesokan harinya mengenai pembelian KJ. Dengan syarat, yang membeli
harus diatas 40 orang jika ingin harga per-orang Rp 200.000. Jika di bawah 4
orang, maka harga kunci jawaban akan naik menjadi Rp 500.0000. Sayang aku tidak
menghadiri pertemuan tersebut sehingga tidak dapat melihat respon langsung dari
teman-temanku. Namun, saat itu, aku percaya, sahabatku tidak akan terayu oleh
bisikan iblis itu.
Shock, awalnya aku
menganggap mereka bercanda. Ternyata, mayoritas sahabatku memilih untuk
menggunakan KJ. Dengan dalih mereka sadar kekurangan mereka, betapa tidak
siapnya mereka, ketakutan tidak diterima oleh SMA incaran, dan masih banyak
lagi. Aku benar-benar merasa tertusuk ketika membaca chat di room chat yang
khusus untuk geng kami. Ingin rasanya mencegah. Namun, aku sadar posisiku.
Mereka pasti menganggap aku tidak peka karena aku tidak merasakan susahnya
mereka berurusan dengan pelajaran . Bahkan, kadang temanku menangis ketika kami
belajar bersama akibat frustasi dan kemudian merutuki dirinya karena tak
kunjung paham setelah sekian lama belajar.
Yang lebih
menyedihkan, ternyata mereka adalah motor dari perdagangan barang haram
tersebut. Mereka yang mengkoordinir dan bertugas mengumpulkan-otomatis
menghasut- teman-teman seangkatanku untuk ikut menggunakan KJ. Ironisnya,
mereka sampai mendatangi rumah beberapa orang. Kemudian, memelas sekaligus
memaksa dengan alasan demi solidaritas angkatan, kepedulian, kekeluargaan, dan
tetek bengeknya yang pada kasus ini membuatku muak.
Dalam kondisi
seperti itu, mereka tetap tidak merasa bersalah dan kami chat seperti biasa.
Bahkan, mereka ikut menawariku dan sisa sahabatku yang tidak menggunakan KJ
untuk ikut membeli walaupun nantinya kami tidak akan menggunakannya. Sekedar
membantu, katanya.
Sungguh ! Sia-sia
usahaku mengajar mereka tiap malam. Tak ada lagi artinya air mata mereka ketika
mereka kesusahan disaat proses berpikir. Sampah, semua mimpi yang selalu kami
perbincangkan jika pada akhirnya mereka bagaikan bibit-bibit koruptor yang
kerjaannya menghancurkan bangsa, menzolimi orang banyak. Apalagi komitmen yang
pernah kami buat. Mungkin hal tersebut telah hilang ditelan bumi tanpa mereka
sadari mereka pernah melakukannya.
Aku sedih melihat
mereka bangga dengan sesuatu yang mereka anggap kekuatan di tengah kebodohan
yang sebenarnya. Di tengah kegagalan yang terpampang nyata. Sungguh omong
kosong, menyalahkan pemerintah dengan sistemnya yang buruk jika pada akhirnya mereka
terjebak pada cara yang haram. Artinya, mereka sukses menjadi korban sistem
pendidikan yang sebenarnya perlu diperbaiki. Namun, dengan jalan pintas bisikan
setan itu, bagaimana cara pemerintah mengetahui bahwa ada yang sakit pada
sistemnya karena hasil UN yang keluar nantinya layaknya tak bermasalah pada
proses pembelajaran sebelumnya ? Ingin rasanya menyadarkan mereka, bahwa mereka
terjebak ! Saat itu, mereka justru menjadi bagian kerusakan sistem yang mereka
gembar-gemborkan.
Namun, hal itu
sudah berlalu. Telah hilang tanpa pernah disinggung lagi. Namun, yang paling
menyedihkan sebenarnya adalah aku, yang tidak berani mencegah dan membiarkan
sahabat-sahabatku merusak dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar