Bukti-Bukti Peninggalan dan Kebudayaan Hindu Buddha
di Indonesia
Setelah sejarah muncul dan masuknya agama hindu buddha ke Indonesia,
sekarang kita akan membahas mengenai bukti-bukti peninggalan dan kebudayaan
Hindu Buddha.
Keberadaan sesuatu di suatu tempat pada masa lampau dapat diketahui jika
terdapat bukti-bukti yang menjelaskan keberadaan hal-hal tersebut. Sama halnya
dengan masa Hindu Buddha, yang ternyata pernah dialami oleh Indonesia. Saat
itu, agama Hindu Buddha merupakan agama yang mendominasi. Mungkin, jika kita
mengatakan hal tersebut tanpa bukti, pasti orang-orang akan mempertanyakan
kebenaran hal tersebut.
Agama Hindu masuk ke Indonesia sekitar abad ke-1 Masehi yang kemudian
disusul oleh agama Buddha pada tahun ke-5 Masehi. Kedua agama tersebut kemudian
berkembang dan banyak dianut oleh penduduk Indonesia saat itu. Sistem
pemerintahan yang berlaku di zaman itu adalah kerajaan. Sehingga banyak berdiri
kerjaaan-kerajaan bercorak Hindu Buddha. Dengan adanya kerajaan tersebut,
terciptalah suatu sistem kemasyarakatan yang tentunya memiliki ciri khas di
setiap kerajaan. Dimanapun ia berada, manusia cenderung menciptakan suatu
karya, walaupun itu hanya sekadar bangunan yang memang merupakan hal pokok yang
dibutuhkan. Begitu juga pada masa Hindu Buddha, orang-orang membuat benda-benda
dan bangunan sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, kehidupan masyarakat
di suatu periode pasti memiliki kegiatan ataupun kebiasaan yang akhirnya
menjadi ciri khas mereka. Hal tersebut biasa kita kenal dengan budaya. Menurut
kbbi, budaya adalah...... . Suatu kebudayaan di masa lampau dapat kita ketahui
mengenai peninggalan-peninggalan yang diciptakan oleh budaya tersebut dan masih
bertahan hingga masa kini sehingga orang-orang di zaman sekarang dapat
mengetahuinya.
Berikut beberapa bukti-bukti peninggalan dan kebudayaan Hindu Buddha di
Indonesia......
v Bukti-Bukti
Peninggalan
Kehidupan Hindu Buddha ternyata memberi pengaruh
besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia di masa lampau. Hal ini tampak di
kehidupan masyarakat Indonesia yang dapat kita lihat hingga saat ini yang
berupa peninggalan-peninggalan, baik yang bersifat fisik (material) maupun yang
bersidat non-fisik (abstrak).
Para ahli masih sulit memsatikan mengenai budaya
yang duluan masuk ke Indonesia, apakah kebudayaan Hindu atau kebudayaan Buddha.
Ada beberapa patung Buddha yang ditemukan oleh para arkeolog dan diperkirakan
dibuat sekitar abad ke-2 dan ke-3 M di beberapa wilayah di Indonesia. Hal
tersebut diperkuat oleh penelitian sejarawan F.D.K Bosch yang menyatakan arca
Buddha yang ditemukan di Sempaga masuk ke Indonesia dari Amarawati, sebuah
daerah di India selatan, pada abad ke-2 atau ke-3 M. Arca Buddha yang terdapat
di Bukit Seguntang juga diperkirakan berasal dari abad ke-2 Masehi. Sementara
itu, ditemukan juga patung Buddha bergaya Gandhara di Kalimantan Timur.
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis tersebut,
kebuddayaan agama Buddha lah yang masuk pertama di Indonesia, yaitu sekitar
abad ke-2 M. Sedagkan kebudayaan agama Hindu muncul belakangan, yaitu sekitar
abad ke-4 M. Hal ini dibuktikan dengan penemuan yupa bercorak Hindu di daerah
Kalimantan Timur.
Pengaruh kebudayaan Hindu Buddha berlangsung
selama berabad-abad di Indonesia. Tak mengherankan, agama dan kebudayaan Hindu
Buddha menjadi bagian dari kehidupan keagamaan dan kebudayaan di Indonesia
hingga saat ini, bahkan telah mengakar dan memengaruhi semua sendi kehidupan
masyarakat melalui proses asimilasi dan akulturasi.
Hasil dari interaksi asimilasi dan akulturasi tersebut
dapat dilihat pada beberapa hal di bawah ini :
o Aksara dan Bahasa
Masuknya kebudayaan Hindu di Indonesia pada abad
ke-1 Masehi memperkenalkan masyarakat Nusantara kepada budaya tulis atau masa
aksara. Pada saat itu, budaya tulis yang dibawa menggunakan bahasa Sansekerta
dengan huruf Pallawa, yaitu sejenis tulisan yang juga ditemukan di wilayah
India bagian selatan. Dengan begitu, masuklah Indonesia pada zaman sejarah atau
zaman aksara, yaitu zaman ketika manusia mulai mengenali tulisan. Kemudian,
bahasa Sansekerta dengan huruf Pallawa menjadi bahasa dan huruf utama yang digunakan
pada banyak prasasti di Indonesia. Prasasti tertua adalah prasasti Mulawarman
yang ditemukan di Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti lain pun ditemukan di
daerah-daerah lain di Indonesia yang ternyata menggunakan huruf dan bahasa yang
sama, yang diduga berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, dan
Mataram Kuno.
Bahasa Sansekerta kebudian banyak memengaruhi
bahasa Kawi (bahasa Jawa Kuno) dan bahasa Melayu Kuno. Bahasa Kawi banyak
menyerap kosakata dari bahasa Sansekerta, namun tidak meniru tata bahasanya
karena tata bahasa sansekerta sangatlah rumit. Istilah kawi bermakna
penyair, dan hasil karya yang dihasilkan penyair isebut dengan kakawin.
Sedangkan sebutan Jawa Kuno menunjukkan bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa
Jawa yang paling tua.
Prof. Dr. P. J Zoetmulder mengatakan bahwa bahasa
Jawa Kuno merupakan bahasa yang umum digunakan pada masa pemerintahan Hindu di
Jawa sampai kerajaan Majapahit runtuh. Menurut para ahli, setelah kerajaan
Majapahit runtuh, orang-orang Majapahit yang tidak ingin menganut agama Islam menyingkirkan
diri ke arah Timur, bahkan sampai ke Bali. Orang-orang tersebut pergi dengan
membawa naskah dan karya-karya sastra sehingga terjadilah pencampuran antara
bahasa Kawi dan bahasa Bali, sehingga lahirlah bahasa Kawi-Bali (bahasa Jawa
Tengahan dan atau Bali Tengahan). Di Bali, bahasa ini digunakan dalam naskah tutur,
usasda, babad, dan kidung.
Setelah muncul dan berkembangnya Islam di
Nusantara, bahasa Jawa Kuno berkembang menjadi bahasa Jawa Tengahan dan bahasa
Jawa modorn. Bahasa Jawa Tengahan ditandai dengan adanya ciri erat antara
budaya Hindu-Jawa Bali dengan pengaruh India yang tetap terasa.
o Sistem Kepercayaan
Di zaman
prasejarah, masyarakat Indonesai memilii kepercayaan terhadap roh nenek moyang,
yang disebut animisme, dan kepercayaan terhadap adanya kekuatan pada
benda-benda tertentu yang disebut dengan dinamisme. Masuknya kebudayaan
Hindu-Buddha menciptakan akulturasi, seperti dalam upacara keagamaan atau
pemujaan terhadap dewa-dewi di candi, terlihat bahwa ada unsur pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya pripih di
dalam bangunan candi yang merupakan tempat benda-benda jasmaniah raja yang
membangun candi tersebut disimpan. Dengan demikian, candi dianggap sebagai
makam atau tempat berdiamnya roh raja. Hal ini memiliki kemiripan dengan fungsi
menhir, dolmen, dan punden berundak yang terdapat pada zaman Megalithikum. Di
atas pripih biasanya terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan dari
raja di dalam candi yang dimuliakan. Pada pundak candi terdapat lambang para
dewa, biasanya berbentuk teratai pada batu segi empat. Kesimpulannya, upacara
keagamaan atau pemujaan terhadap dewa yang ada di candi hakikatnya merupakan
pemujaan terhadap roh nenek moyang, dan itu merupakan salah satu hal yang berasal
dari pengaruh Hindu Buddha.
o Kesusastraan
Karya sastra yang terkenal berbentuk epos yang berasal
dari India, sepeti kitab Ramayana dan Mahabrata memicu para
pujangga Nusantara untuk menghasilkan karya-karya sastra baru. Pada awalnya,
para pujangga hanya menyalin karya-karya tersebut. Namun, mereka kemudian
berkembang dan mulai menggubahnya secara kreatif dan indah dalam berbagai
bentuk kasya sastra. Pembuatan kitab pertama kali dirintis pada masa Dinasti
Isyana, tepatnya pada masa pemerintahan Dharmawanga Teguh. Ialah yang
mempelopori penggubahan epik Mahabrata ke dalam bahasa Kawi.
Seiring dengan perkembangan zaman, naskah-naskah
kuno mulai ditulis sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, kemudian pada zaman
Kerajaan Kediri, an berakhir pada zzaman Majapahit. Di zaman Majapahit, tembang
sudah menggunakan bahasa Kawi, yang disebut kakawin dan kidung. Berikut
beberapa kasya sastra pada zaman tersebut :
a. Kitab Cilpa Sastra, merupakan peninggalan Kerajaan Syailendra yang berisi dasar-dasar pokok membuat candi.
b. Kitab
Arjuna Wiwaha, ditulis oleh Mpu Kanwa pada tahun 1030. Kitab ini
merupakan peninggalan dari Kerajaan Kediri yang berisi tentang
perjuangan Airlangga dalam mempertahankan Kerajaan Kediri.
c. Kitab Smaradahana dikarang oleh Mpu Darmaja, pada masa pemerintahan Raja Kameswara I, Kediri.
d. Kitab Bharatayuda dikarang oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, Kediri.
e. Kitab Krisnayana ditulis oleh Mpu Triyana.
f. Kitab Hariwangsa ditulis oleh Mpu Panuluh.
g. Kitab
Negara Kertagama, ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Kitab ini
merupakan sumber sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit. Di dalam
kitab ini muncul istilah Pancasila.
h. Kitab
Sutasoma, ditulis oleh Mpu Tantular. Kitab ini berisi tentang hukum dan
dijadikan dasar hukum di Kerajaan Majapahit. Dalam kitab ini menekankan
prinsip keadilan dan tidak membedakan rakyat biasa dengan bangsawan.
Jadi siapapun yang melanggar aturan atau undang-undang harus mendapat
hukuman yang sesuai.
i. Pada masa Mataram
Kuno : Ramayana oleh Mppu almiki, Mahabrata oleh Mpu Wiyasa
j. Pada saat Mataram berada di bawah kekuasaan Mpu Sindok : Sang Hyang Kamahayanikan oleh Mpu Sindok
k. Pada masa Kerajaan Kediri : Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa, Kresyana oleh Mpu Triguna, Smaradhana oleh Mpi Dharmaja, Barathayuda oleh Mpu Sedah dan Panuluh, dan Gatotkacasnaya oleh Mpu Panuluh
l. Pada masa Kerajaan
Majapahit : Negarakertagama oleh Mpu Prapanca, Sutasoma dan
Arjunawijaya oleh Mpu Tantular, dan beberapa kitab lain yang belum diketahui
penulisnya seperti Paraton, Tantu Panggelaran, Calon Arang, Sundayana, dan
Bubhuksah
j. Pada saat Mataram berada di bawah kekuasaan Mpu Sindok : Sang Hyang Kamahayanikan oleh Mpu Sindok
k. Pada masa Kerajaan Kediri : Arjunawiwaha oleh Mpu Kanwa, Kresyana oleh Mpu Triguna, Smaradhana oleh Mpi Dharmaja, Barathayuda oleh Mpu Sedah dan Panuluh, dan Gatotkacasnaya oleh Mpu Panuluh
o Sistem
Pemerintahan
Kebudayaan Hindu Buddha mengenalkan pada konsep
dewa raja pada sistem pemerintahan dengan memosisikan raja sebagai titisan para dewa. Para ahli
beranggapan bahwa konsep dewa raja meupakan hasil proses akulturasi
antara Hinduisme dan pemujaan nenek moyang yang sudah lama dianut oleh
masyarakat Nusantara pada saat itu.
Dalam bahasa Sansekerta, istilah dewa raja
bermakna “raja para dewa” atau “raja yang juga titisan dewa”. Dalam masyarakat
Hindu, pemegang kekuasaan tertinggi dapat disandang oleg Siwa, terkadang Wisnu,
atau Brahma. Konsep ini memandang bahwa raja atalah dewa yang hidup di atas
bumi sebagai titisan dewa tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari
prasasti-prasasti yang ditemukan di beberapa wilayah di Nusantara yang berasal
dari beberapa kerajaan.
a. Prasasti Ciaruteun
dari abad ke-5 mengukirkan telapak kaki Raja Purnawarman seperti telapak kaki
Dewa Wisnu.
b. Prasasti Kebon Kopi I
mengukirkan telapak kaki gajah tunggangan raja sebagai telapak kaki Airawata,
gajah tunggangan Dewa Indra.
c. Prasasti
Muara Kaman, di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Prasasti ini
ditulis sekitar tahun 400 Masehi, berisi tentang sejarah Kerajaan Kutai.
d. Prasasti Canggal tahun 732 M, di dekat Magelang. Berisi tentang Kerajaan Mataram Hindu dengan Raja Sanjaya.
e. Prasasti
di Kediri sekitar Sungai Brantas, Jawa Timur, antara lain Prasasti
Padlegan, Palah, dan Panumbungan. Prasasti ini merupakan peninggalan
Kerajaan Kediri.
f. Prasasti Dinoyo tahun 760 M, dekat Malang. Prasasti ini berisi tentang sebuah kerajaan yang berpusat di Kanyuruhan.
g. Prasasti Kalasan tahun 778 M, dekat Jogjakarta, memuat tentang Kerajaan Mataram Hindu yang dipimpin Raja Rakai Panangkaran.
h. Prasasti Kedu tahun 907 M, berisi tentang Kerajaan Mataram Hindu yang dipimpin Raja Balitung.
i. Prasati
Adityawarman, ditemukan di daerah Batusangkar. Prasasti ini memakai
bahasa Melayu Kuno bercampur dengan bahasa Sanskerta.
j. Prasasti
Mulawarman, ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti
ini merupakan peninggalan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Selain itu, dapat juga dilihat dari Arca dewa di
ruangan utama candi yang seringkali merupakan arca perwujudan anumerta sang
raja yang digambarkan sebagai dewa tertent yang arwahnya bersatu dengan dewa
yang dipuja dan naik ke swargaloka. Berikut contoh-contoh lainnya :
§ Raja Airlangga dari
Jawa didharmakan sebagai titisan Wisnu sehingga monumen peringatannya
memperlihatkan ia sebagai Wisnu yang mengendarai Garuda
§ Raja Kertarajasa atau
Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit di Jawa, diabadikan dalam patung yang
memperlihatkan ia sebagai Halihara, perpaduan antara Dewa Wisnu dan Dewa
Siwa.
o Kesenian
Sebelum masuknya pengaruh Hindu Buddha, bangsa
Indonesia telah mengenal seni bangunan dalam bentuk bangunan-bangunan besar
dari masa Megalithikum. Pada masa Hindu, masyarakat Indonesia dikenalkan dengan
sistem konsep candi. Mirip dengan dolmen, menhir, dan punden berundak, candi
adalah monumen tempat pen-dharma-an bagi raja yang sudah meninggal. Bangunan
candi memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai tempat mendharmakan raja, memuja
dewa-dewi tertentu, an tempat bersemadi para pendeta dan pemuka agama. Di bawah
patung raja biasanya disimpan pripih.
Masyarakat Buddha di Nusantara juga mendirikan
bangunan candi, dengan fungsi yang mirip dengan agama Hindu. Stupa pada
candi-candi bercorak Buddha pada awalnya berfungsi seperti pripih, dan tempat
menyimpan abu jenazah Buddha Gautama atau barang-barang berharga milik raja
yang telah meninggal. Daam perkembangannya, candi digunakan sebagai tempat
menyimpan abu jenazah dari paa arhat (orang suci) yang berjasa menyebarkan
ajaran Buddha. Jika dilihat dari struktur bangunannya, salah satu candi
bercorak Buddha, Candi borobudur, sangat mirip dengan punden berundak.
Berbeda dengan dolmen dan menhir, candi biasanya
memilii struktur yang lebih rumit namun artistik. I bagian luarnya terdapat
relung-relung candi yang diisi dengan patung perwujudan dari Dewa Siwa, Durga,
Wisnu, Brahma, dan Ganesha. Bagian atap candi Hindu biasanya bertingkat tiga,
dan di bagian puncaknya dibentuk seperti genta, yaitu lonceng dengan posisi
telungkup. Bangunan pada candi Buddha banyak dipenuhi stupa yang bentuknya
mirip mangkuk terbalik.
Selain itu, kebudayaan Hindu Buddha juga memengaruhi seni pertunjukan masyarakat Indonesia, terutama dalam hal perwayangan. Seni wayang sampai sekarang merupakan salah satu bentuk seni
yang masih populer di kalangan masyarakat Indonesia. Seni wayang beragam
bentuknya seperti wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang. Seni
pertunjukan wayang tampaknya telah dikenal oleh bangsa Indonesia sejak
aman prasejarah.
Seni Wayang |
Pertunjukan wayang pada masa ini selalu dikaitkan dengan fungsi magisreligius yaitu
sebagai bentuk upacara pemujaan pada arwah nenek moyang yang disebut
Hyang . Kedatangan arwah nenek moyang diwujudkan dalam bentuk bayangan
dari sebuah wayang yang terbuat dari kulit. Lakon wayang pada masa ini
lebih banyak menceritakan tentang kepahlawanan dan petualangan nenek
moyang, seperti lakon-lakon “Dewi Sri” atau “Murwakala”.
Pertunjukan
wayang diadakan pada malam hari di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Pada masa Hindu-Buddha, kebudayaan pertunjukan wayang ini terus
dilanjutkan dan lebih berkembang lagi dengan cerita-cerita yang lebih
kaya.
Cerita-cerita
yang dikembangkan dalam seni wayang kemudian sebagian besar mengambil
epik yang berkembang dari agama Hindu-Buddha terutama cerita Ramayana
dan Mahabharata. Meskipun demikian, tampaknya cerita yang dikembangkan
dalam seni pertunjukan wayang tidak seluruhnya merupakan budaya atau
cerita yang sepenuhnya berasal dari India. Unsur-unsur budaya asli
memberikan ciri tersendiri dan utama dalam seni wayang.
Hal ini
terlihat dengan dimasukkannya tokoh-tokoh baru yang kita kenal dengan
sebutan Punakawan. Tokoh-tokoh punakawan seperti Bagong, Petruk dan
Gareng (dalam seni wayang golek disebut Astrajingga atau Cepot, Dewala
dan Gareng) tidak akan kita temukan dalam cerita-cerita epik populer
India seperti Ramayana dan Mahabharata, sebab penciptaan tokoh-tokoh
tersebut asli dari Indonesia.
Munculnya
tokoh Punakawan ini untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Mpu Panuluh
yang hidup pada aman kerajaan Kediri. Dalam karya sastranya yang
berjudul Ghatotkacasraya, Mpu Panuluh menampilkan unsur punakawan yang
berjumlah tiga, yaitu Punta, Prasanta dan Juru Deh sebagai hamba atau
abdi tokoh Abhimanyu, putra Arjuna. Dalam karyanya tersebut, Mpu Panuluh
masih menggambarkan tokoh punakawan sebagai tokoh figuran yang kaku dan
porsi cerita terbesar masih dipegang oleh tokoh-tokoh utama.
Pada
perkembangan selanjutnya tokoh punakawan ini menjadi tokoh penting dalam
seni pertunjukan wayang, sebab memberikan unsur humor dan lelucon yang
dapat membangun cerita wayang lebih menarik lagi. Dimasukkannya
tokoh-tokoh punakawan juga seakan-akan untuk menggambarkan hubungan
antara bangsa India dengan penduduk asli.
Pembauran
budaya asli dengan budaya Hindu-Buddha terlihat juga pada
pencampuradukan antara mitos-mitos lama dengan cerita-cerita baru dari
India. Misalnya dalam kitab Pustaka Raja Purwa menggambarkan dewa-dewa
agama Hindu yang turun ke bumi dan menjadi penguasa di tanah Jawa. Sang
Hyang Syiwa menjadi raja di Medang Kamulan, Sang Hyang Wisnu
menggantikan kedudukan Prabu Watu Gunung dengan gelar Brahma Raja
Wisnupati.
o Sistem Bangunan
Tata Kota
Pada zaman sebelum Hindu Buddha, masyarakat
Indonesia belum mengenal bangunan dan taat kota yang kompleks, tertata, dan
bernilai seni tinggi (arsitektur). Dengan masuknya pengaruh Hindu Buddha,
masyarakat Indonesia jadi mengenal sistem bangunan yang lebih ber-arsitektur
dibandingkan bangunan sebelumnya. Salah satunya adalah keraton. Keraton
merupakan tempat tinggal raja yang biasanya terletak di pusat kota dan
dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi. Tembok tersebut umumnya memilii empat
pintu gerbang atau gapura yang menghadap ke empat arah mata angin : utara,
selatan, barat, dan timur. Di sebelah selatan umumnya terdapat alun-alun,
sedangkan di bagian barat terdapat bangunan peribadatan. Sebagai contoh,
alun-alun Keraton Yogya, yang disetiap tempatnya memiliki fungsi masing-masing
: Alun-alun Utara sebagai tempat berkumpul masyarakat yang bersifat dinamis,
Alun-alun Selatan sebagai penyeimbang dan dimaksudkan sebagai tempat palereman
(istirahat) para dewa sehingga suasananya dikondisikan agar dapat
menentramkan hati banyak orang.
Tata letak bangunan yang lazim disebut sistem macapat
ini masih sering kita jumpai di kota-kota lain di Jawa. Sementara sisa-sisa
bangunan keraton zaman dulu sengan sistem macapat masih dapat dilihat hingga
saat ini, contohnya adalah Keraton Majapahit di Trowulan , Jawa Timur.
o Bidang Seni Rupa
Pada awalnya, masyarakat Nusantara mengenal seni
berupa lukisan di gua-gua yang menggambarkan hewan, manusia, jari tangan, dan
lain-lain. Dengan masuknya Hindu Buddha, masyarakat Indonesia dikenalkan dengan
sebuah kesenian yang disebut dengan relief. Relief merupakan seni pahat
berupa ukiran (seni ukir) yang biasanya dibuat pada dinding candi, kuil,
monumen, atau tempat bersejarah. Relief-relief biasanya disusun sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu rangkaian cerita. Biasanya diambil dari karya sastra
yang lahir pada masa itu. Berikut beberapa contohnya :
§ Candi Prambanan :
Dinding bagian luar candi menceritakan kisah Ramayana.
§ Candi Borobudur : Bercerita
mengenai kisah Lalitawistara di dinding candi, dan pada dinding lain terdapat
pahatan mengenai karmawibhangga.
Namun, tidak
semua candi yang bercorak Hindu Buddha memiliki kesamaan di seluruh wilayah di
Nusantara. Di Jawa Tengah, relief candi bersifat naturalis, sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya, sedangkan relief candi di Jawa Timur lebih bersifat
simbolis. Contoh relief candi yang bersifat simbolis adalah relief di Candi
Jago, Jawa Timur yang di dalamnya terdapat relief punakawan.
Setiap bangunan candi mempunyai tiga bagian utama sebagai berikut.
Setiap bangunan candi mempunyai tiga bagian utama sebagai berikut.
a. Kaki candi, berbentuk bujur sangkar melambangkan “alam bawah” yaitu dunia tempat hidup manusia.
b. Badan candi, melambangkan “alam antara” tempat manusia yang sudah meninggalkan semua urusan duniawinya.
c. Atap candi, melambangkan “alam atas”, berbentuk lingkaran dengan tiga teras berundak-undak.
Peninggalan candi Hindu-Buddha di Indonesia antara lain sebagai berikut.
a. Candi Borobudur
Dibangun
pada abad ke-9 M atau 824 M (746 Saka), oleh Raja Smaratungga dari
Dinasti Syailendra. Borobudur terletak di Muntilan yang dikelilingi
Bukit Menoreh, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung
Sumbing. Borobudur berasal dari kata boro yang berasal dari bahasa
Sanskerta yang berarti candi, biara, atau asrama dan budur yang berarti
atas. Jadi, borobudur berarti candi, istana, atau biara di atas bukit.
Candi
Borobudur memiliki sepuluh tingkat dengan stupa induk setinggi 7 m
dengan garis tengah 9,9 m. Bangunan Candi Borobudur terbengkalai seiring
dengan runtuhnya Kerajaan Mataram Hindu dan gempa bumi. Letusan gunung
berapi juga turut meruntuhkan sebagian bangunan candi. Pada tahun 1814,
H.C. Cornelius bersama penduduk membersihkan lokasi candi. Dan baru pada
tahun 1835 bentuk candi terlihat seluruhnya.
Pemugaran
Candi Borobudur pertama kali dilakukan tahun 1907-1911 berkat bantuan
Th. Van Erp, dan berhasil menyelamatkan Candi Borobudur. Pemugaran kedua
dilakukan pemerintah Indonesia dengan bantuan UNESCO. Pemugaran Candi
Borobudur selesai pada tahun 1982. Candi Borobudur mempunyai 505 arca
Buddha dan pada bagian dinding candi terdapat pahatan atau disebut
relief. Relief-relief itu menggambarkan berbagai cerita, antara lain
sebagai berikut.
1)
Karmawibhangga berisi berlakunya hukum karma (sebab akibat), di mana
setiap perbuatan baik dan buruk akan membawa akibat bagi pelakunya.
2) Lalita vistara yang menceritakan tentang kehidupan sang Buddha dari lahir sampai mendapat bodhi (wahyu) tentang hidup sejati.
3) Awadana
dan Jataka yang menggambarkan kehidupan sang Buddha di masa lalu
(Awadana) dan kepahlawanan orang-orang suci (Jataka).
b. Candi Prambanan
Candi
Prambanan disebut juga Candi Roro Jonggrang. Candi Prambanan dibangun
pada masa pemerintahan Raja Balitung pada abad ke-9 sebagai simbol
Kerajaan Mataram Hindu. Pembangunan Candi Prambanan selesai pada masa
pemerintahan Raja Daksa. Candi Prambanan terletak di Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Klaten, perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan DI
Jogjakarta. Candi Prambanan menjadi tempat wisata budaya yang menarik
karena di sekitar candi dibangun Taman Wisata dan panggung pentas
Sendratari Ramayana.
Candi
Prambanan mempunyai tiga pelataran persegi, yaitu bawah, tengah, dan
atas. Pada masing-masing pelataran berderet candi-candi kecil. Dalam
kompleks Candi Prambanan juga terdapat tujuh buah candi besar, yaitu
sebagai berikut.
1) Candi Brahma
Terletak di
sebelah selatan Candi Syiwa dan berukuran lebih kecil. Di dalam Candi
Brahma terdapat patung Brahma yang mempunyai empat kepala. Dewa Brahma
merupakan dewa pencipta alam semesta. Pada dinding Candi Brahma terdapat
relief yang berisi kelanjutan cerita Ramayana di candi induk.
2) Candi Syiwa
Disebut juga
Candi Roro Jonggrang dan menjadi candi utama. Candi ini dinamakan Candi
Syiwa karena di dalamnya menyimpan patung Syiwa. Masyarakat Jawa
memberikan penghormatan yang tinggi kepada Dewa Syiwa karena selain
sebagai dewa perusak, Dewa Syiwa juga dapat menciptakan benda kembali.
Pada dinding Candi Syiwa terdapat relief yang menggambarkan tentang
cerita Ramayana.
3) Candi Wisnu
Candi Wisnu
mempunyai bentuk dan ukuran hampir sama dengan Candi Brahma. Candi Wisnu
terletak di sebelah utara Candi Syiwa. Di dalam Candi Wisnu terdapat
ruangan berisi patung Wisnu, yang digambarkan sebagai dewa dengan empat
tangan yang memegang alat-alat seperti cakra, tiram, dan pemukul. Dewa
Wisnu merupakan dewa pemelihara alam semesta. Pada Candi Wisnu juga
terdapat relief yang menggambarkan cerita Kresnayana.
4) Candi Apit
Diberi nama
Candi Apit karena letaknya terapit oleh dua candi yang berderet dan
berhadapan. Candi Apit digunakan sebagai tempat semadi bagi pemeluk
agama Hindu.
5) Candi Nandi
Candi Nandi
terletak di deretan sebelah timur. Di dalamnya terdapat patung berbentuk
seekor sapi jantan besar yang sedang berbaring. Sapi atau nandi
tersebut merupakan kendaraan Dewa Syiwa. Di dalam Candi Nandi juga
terdapat patung Dewa Surya (matahari) dan Dewa Candra (bulan).
6) Candi Angsa
Candi Angsa
berhadapan dengan Candi Brahma. Candi ini berfungsi sebagai kandang
binatang yang menjadi kendaraan Dewa Brahma, binatang tersebut adalah
angsa.
7) Candi Garuda
Garuda
merupakan kendaraan Dewa Wisnu. Candi Garuda terletak di sebelah utara
Candi Nandi. Di bagian bawah lantai Candi Garuda terdapat sumur yang
berisi tulang manusia bercampur tanah.
c. Candi Portibi
Terdapat di
daerah Padan Balok, Gunung Tua, di Provinsi Sumatra Utara. Candi Portibi
merupakan peninggalan Kerajaan Panai tahun 1039. Candi ini dibangun
oleh para brahmana Indonesia yang berlayar bersama para
pedagang-pedagang untuk menyebarkan agama Hindu di Sumatra Utara.
d. Candi Muara Takus
Dibangun
pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa, sekitar abad ke 9-10 M. Candi
Muara Takus dibangun sebagai tempat pemujaan penganut agama Buddha.
Pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa diceritakan bahwa Sriwijaya
mencapai puncak kejayaannya.
Seni rupa
lainnya yaitu arca. Sebelum datang pengaruh Hindu Buddha, seni patung atau arca
biasanya berupa binatang yang dianggap suci, yang berdasarkan pada kepercayaan totemisme.
Lalu, aa juga arca berwujud manusia berciri Negrito yang dianggap sebagai
perwujudan sekaligus bentuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Dengan
masuknya kebudayaan Hindu, masyarakat di Indonesia diperkenalkan dengan
patung-patung yang menunjukkan dewa utama seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Setiap dewa memiliki ciri laksana, berupa lingkaran di kepala atau seluruh
badan yang menggambarkan kesucian dari dewa-dewa tersebut. Pada Dewa Wisnu,
laksananya bertangan empat dengan setuap tangan memehang gada, cakra atau
senjata pemusnah, kerang bersayap, dan kuncup teratai, serta menaiki burung
garuda sebagai tunggangannya. Berikut beberapa arca yang merupakan peninggalan hindu buddha di Indonesia... :
a. Patung Gajah Mada
Patung ini
dibuat untuk mengenang jasa-jasa Patih Gajahmada dalam mempersatukan
Nusantara di bawah Majapahit. Pada saat diangkat menjadi Mangkubumi atau
Perdana Menteri Majapahit, Gajah Mada mengucapkan sumpah yang bernama
“Sumpah Palapa”.
b. Patung Prajna Paramita
Patung
Prajna Paramita merupakan patung perwujudan Ken Dedes istri Ken Arok,
yang digambarkan sebagai Dewi Kebijaksanaan. Patung yang terletak di
Candi Singasari, merupakan peninggalan Kerajaan Singasari dengan pahatan
yang sangat bagus.
c. Patung Buddha
Ditemukan di
Bukit Siguntang, Palembang pada abad ke-2. Patung Buddha merupakan
peninggalan Kerajaan Sriwijaya sebagai bukti bahwa agama Buddha
berkembang dengan baik. Selain itu terdapat juga patung Buddha di Candi
Mendut.
Bentuk seni
rupa lainnya yang dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu adalah ragam hias.
Kemampuan membuat ragam hias yang semakin berkembang pada masa hindu dapat
dilihat dari berbagai bentuk yang dapat kita temui, seperti geometris garis
sejajar, bentuk S atau pilin berganda, gigi belalang, meander, ataupun
swastika.
Ragam hias
tubuh manusia pada masa Hindu Buddha yaitu hiasan kepala orang yang dikenal
dengan kalamakara. Ada juga ragam hias binatang, yang berupa gambar binatang
yang dianggap keramat, misalnya kendaraan para dewa. Terakhir, ragam hias
tumbuh-tumbuhan, yang sampai sekarang masih digunakan sebagai lambang
penghargaan tertinggi terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup, kalpataru.
o Sistem Kalender
Sistem penanggalan atau kalender Hindu Buddha
berpengaruh pada kebudayaan Indonesia yang berupa penggunaan kalender dari
India bernama Saka. Tahun Saka dimulai pada tahun 78 M. Penggunaan kalender
Saka dilihat pada Prasasti Talang Tuo, yang menggunakan huruf Pallawa dan
bahasa Melayu Kuno, menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di
Sumatera yang berangka tahun 606 Saka atyau 686 M.
Masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih
menggunakan perhitungan tahun Saka adalah masyarakat Bali yang beragama Hindu,
untuk menentukan hari pada kegiatan upacara keagamaan.
Sumber :
http://www.cpuik.com/2012/12/peninggalan-sejarah-hindu-dan-buddha.htmlhttp://www.materisma.com/2014/04/penjelasan-peninggalan-kebudayaan- hindu.html
Hapsari, Ratna dan M.Adil.2012.Sejarah Indonesia Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Wajib.Jakarta:Penerbit Erlangga
Bukti bukti peninggalan yg ad sampai sekarang beserta gambarnya
BalasHapus